Ibu Tiriku Yang Doyan Sex Denganku

Ketegangan meliputi seluruh keluarga besar Papa saat ia memutuskan untuk menikah lagi. Mama dan ketiga orang kakakku menentang keputusan Papa. Masalahnya, perempuan yang mau dinikahi Papa, sebut saja namanya Nina, seusia dengan kakak perempuanku yang kuliah semester 2.



Aku yang waktu itu baru lulus SMP belum begitu paham dengan urusan orang tua. Apalagi aku jarang bertemu Papa karena ia kerja di kota lain. 

Tapi Papa tetap pada keputusannya. Ia menikah lagi tanpa dihadiri oleh anak-anaknya. Ia dan istri barunya tinggal di Batam di mana ia selama ini bekerja, sedangkan kami anak-anaknya tinggal bersama Mama.

Meski tinggal berjauhan, Papa tetap rajin mengunjungi kami seperti biasanya. 

Hanya saja ia tak pernah mengajak istrinya karena mungkin khawatir akan menimbulkan konflik. Begitu juga soal biaya hidup, Papa tidak pernah terlambat mentransfer ke rekening Mama.

Waktu lulus SMA, karena tidak diterima di perguruan tinggi negeri, Papa menawariku untuk kuliah di Batam karena ia punya kenalan rektor di salah satu perguruan tinggi swasta di sana. Semula aku ragu. Apalagi Mama dan ketiga kakakku tak setuju. Mereka ingin aku berjauhan dengan Mama.

Tapi ketika kemudian ada kabar kalau Papa masuk rumah sakit, aku akhirnya menerima tawaran Papa. Aku dan kakak perempuanku, sebut saja namanya Mbak Risma, berangkat ke Batam untuk menengok Papa. Aku terenyuh saat melihat Papa terbujur lemah di tempat tidur.

Saat itulah untuk pertama kalinya aku bertemu Nina. Mbak Risma tidak saling bertegur sapa dengan Nina. Kelihatan sekali kalau ia sangat tidak suka pada istri baru Papa itu. Aku pun sebetulnya juga menyimpan rasa marah karena Nina telah merebut Papa dari Mama, tapi karena merasa jenuh dengan suasana yang begitu kaku, sedikit-sedikit aku mau juga diajak bicara oleh Nina.



Karena kasihan pada Papa itulah kemudian aku memutuskan untuk kuliah di Batam. Mbak Risma marah saat kukatakan itu padanya, tapi aku bersikukuh pada pendirianku. 

Menurutku, paling tidak ada satu anak Papa yang menemaninya di Batam, karena tak ada satupun kerabat di kota metropolitan itu.

Akhirnya Mbak Risma pulang sendirian, sedangkan aku menjaga Papa di rumah sakit sampai Papa diperboleh pulang. Setelah beberapa hari tinggal di rumah Papa, aku pulang untuk mengambil dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran di perguruan tinggi.

Sampai di rumah aku diomeli oleh kakak-kakakku, sementara Mama hanya bisa menangis. Tapi aku kukuh pada pendirianku. Lagipula Nina tak seburuk yang mereka kira. Kakak-kakakku menganggap kalau Nina mau dinikahi Papa hanya karena Papa kaya.

Tapi selama beberapa hari bersamanya aku punya penilaian sendiri. Justru Nina orang yang bersahaja. Ia pun ramah, tidak galak seperti ibu tiri dalam film. Bagiku, Mama Nina adalah sosok yang menyenangkan, selain juga cantik.

Seharusnya kakak-kakakku bersyukur ada Nina yang merawat Papa di Batam. Mungkin juga Mama salah, kenapa dulu menolak pindah ke Batam. Kakak-kakakku pun akhirnya menyerahkan keputusannya padaku. Hanya saja mereka berpesan agar aku kos saja di dekat kampus. Kalau itu aku setuju karena rumah Papa dengan perguruan tinggi yang akan kumasuki sangat jauh.

Di Batam, untuk sementara aku tinggal di rumah Papa sampai urusan administrasi pendaftaran selesai. Nina lah yang mengantarku ke kampus, mulai dari awal sampai tes penerimaan, karena Papa sibuk dengan pekerjaannya.

Dan jika ada waktu senggang, ia mengajakku ke tempat-tempat wisata yang ada di Batam, atau sekedar makan siang bersama di Pizza Hut atau Mc Donald. Begitu juga ketika aku dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru, Nina yang menemani mencari tempat kos.

Namun hal yang terduga terjadi padaku. Kebersamaan selama beberapa hari dengan Nina menumbuhkan perubahan pada diriku. Selain aku mulai terbiasa memanggilnya Mama Nina, muncul rasa aneh dalam diriku.

Aku berusaha sekuat tenaga menepis perasaanku itu, karena merasa tak sepantasnya perasaan itu ada, tapi tak pernah bisa. 

Entah kenapa ada semacam rasa suka saat berduaan dengan ibu tiriku itu. Aku takut mengakui kalau aku jatuh cinta padanya, tapi memang itulah yang terjadi.

Aku merasa kesepian saat mulai tinggal di tempat kos, apalagi saat menjelang tidur. Ingatanku selalu pada Mama Nina yang suka memakai baju ketat tanpa lengan kalau di rumah.

Yang paling menggetarkan hatiku adalah ketika kami ngobrol berdua di sofa teras belakang rumah. Satu kakinya ditumpangkan ke kaki lainnya hingga menampakkan pahanya yang mulus. Diam-diam aku ereksi membayangkan Mama Nina. Kerinduanku padanya terasa sangat menyiksa.

Untungnya rinduku pada Mama Nina terobati, setidaknya seminggu sekali, karena setiap Jumat malam ia, kadang bersama Papa kadang sendirian, menjemputku di tempat kos agar hari Sabtu dan Minggu aku bisa tinggal di rumah Papa. Perasaan yang kupendam makin memburuk saat muncul ketidaksukaanku pada Papa. Semacam cemburu begitulah. Aku lebih suka jika hanya Mama Nina sendiri yang menjemputku.

Aku tak betah tinggal di rumahnya jika ada Papa. Dan rasa cinta pada Mama Nina yang usianya sekitar 4 sampai 5 tahun lebih tua dariku makin tumbuh subur. Gejolak darah muda menggebu-gebu setiap kali melihat Mama Nina. Aku mulai berkhayal tentang dia, membayangkan nikmatnya mencumbu bibir indahnya. Sadar atau tidak, aku telah terobsesi pada Mama Nina.

Saking besarnya obsesiku pada Mama Nina hingga timbul hasrat isengku. Diam-diam kupinjam handycam milik Papa yang tersimpan di laci ruang keluarga, lalu ku beli kaset kosong. Saat aku mandi kuletakkan handycam itu di tempat tersembunyi dan kuaktifkan mode perekamannya.

Sudah diperhitungkan waktunya dengan kebiasaan Mama Nina mandi. Kurasakan debaran jantungku ketika melihat Mama Nina masuk kamar mandi. Di ruang keluarga aku menunggu dengan pura-pura nonton TV. Selama menunggu, aku gelisah tak karuan. Tak sabar ingin segera melihat hasilnya.



Begitu Mama Nina selesai mandi dan masuk ke kamarnya, bergegas kuambil handycam itu. Di dalam kamar yang telah ku kunci kuputar ulang rekamannya. Aku menahan nafas menyaksikan adegan demi adegan mulai Mama Nina masuk kamar mandi, membuka baju dan dan mulai mandi.

Panas dingin rasanya melihat tubuh telanjang Mama Nina yang begitu indah. Kedua mataku tak berkedip menikmati setiap gerak-geriknya. Begitupun ketika ia selesai mandi dan mengenakan BH dan celana dalam sexy berwarna hitam. Rekaman itu kemudian ditransfer ke komputer sehingga aku bisa memelototi lekuk liku tubuh Mama Nina lebih jelas.

Tak puas dengan rekaman kamar mandi, aku pun mengalihkan sasaran ke kamar tidur Mama Nina. Saat ia mandi aku menyelinap ke kamarnya. 

Kuletakkan handycam di tempat tersembunyi dan kuarahkan ke tempat tidurnya. Tapi cara ini kurang efektif.

Aku harus menunggu esok hari saat Mama Nina tak di kamar untuk mengambil handycam. Kutelepon Papa minta ditransfer sejumlah uang yang kukatakan untuk beli buku, padahal ku belikan kamera mini yang terhubung ke komputer. Dengan begitu aku bisa mengamati langsung gerak-gerik Mama tiriku di tempat tidur dan sekitarnya.


Aku hanya mengaktifkan kamera mini saat Papa tidak di rumah. Aku tak mau melihatnya dan Mama Nina bercumbu di tempat tidur. Yang kuinginkan hanya Mama Nina dalam keadaan sendirian, hingga suatu ketika ada satu adegan yang membuat nafsuku meronta dan berujung pada onani.

Betapa tidak. Saat itu siang hari, usai makan dan ngobrol di ruang keluarga, Mama Nina minta diri mau tidur. Ngantuk, katanya. Papa sedang mengunjungi Mama, sehingga praktis hanya ada aku dan Mama Nina serta pembantu rumah tangganya. Begitu ia masuk kamar, aku pun ke kamarku dan langsung menghidupkan komputer. Di monitor kusaksikan Mama Nina merebahkan dirinya di ranjang.

Mulanya kulihat ia tenang dan kupikir sudah tidur. Tapi beberapa menit kemudian ia tampak gelisah. Tidurnya berubah-ubah posisi yang membuat baju tidurnya tersingkap. Beberapa menit kemudian tangannya mengelus-elus “miliknya” yang tertutup celana dalam putih.

Aku menahan nafas dengan mata tak berkedip melihat ke layar monitor. Tak lama setelah itu tangan Mama Nina menyusup ke celana dalamnya disertai goyangan pinggul yang membuat birahiku naik ke otak. Aku jadi tergerak untuk melakukan hal yang sama. Kuremas lembut “milikku” sambil mengamati gerak-gerik Mama Nina.

Adegan berikutnya, Mama Nina melepas baju tidurnya. Ternyata ia tidak pakai BH. Tubuhku panas dingin menyaksikan aksinya. Kemudian pelan-pelan Mama Nina melepas celana dalamnya dan mulai memainkan “miliknya” dengan penuh gairah. Sayang suaranya tak terdengar. Andai terdengar pasti makin asyik. Tubuhnya menggelinjang merasakan kenikmatan yang dibuatnya.

Beberapa saat kemudian Mama Nina memiringkan tubuhnya dan membuka laci yang ada di samping tempat tidurnya. Jantungku berdegup kencang manakala melihat benda yang diambilnya. Benda mirip kemaluan laki-laki. Dengan ekspresi penuh perasaan, Mama Nina menggesek-gesekkan benda itu di “miliknya”.

Lagi-lagi pinggulnya menggelinjang. Aku sudah menduga adegan selanjutnya. Ya, Mama Nina mulai memasukkan benda itu ke “miliknya”. Mulutnya menganga akibat nikmat yang dirasakannya. Tak mau kalah dengan Mama Nina, aku pun menelanjangi diriku sendiri dan makin asyik memainkan “milikku”.

Mama Nina mengangkat kedua kakinya dengan posisi mengangkang sambil memainkan benda itu di “miliknya”. Matanya terpejam, mungkin sedang membayangkan Papa yang menyetubuhinya.

Setelah itu Mama Nina tengkurap. Pantatnya ditunggingkan sementara tangan satunya memegang “mainannya” yang diberdirikan di ranjang. Begitu sudah pas, ia mulai menggoyang pantatnya naik turun dengan posisi duduk. Sesekali alat itu terlepas dan Mama Nina membetulkannya.

Puas dengan posisi duduk, Mama Nina menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar saat “mainannya” dikocok-kocokkan dalam”miliknya”. Seiring dengan itu, aku pun mengocok “milikku” makin cepat dengan genggaman yang makin erat. Beberapa menit kemudian Mama Nina berguling-guling di ranjang.

“Mainannya” dicabut, diganti dengan tangannya yang membekap “miliknya”, sementara kedua kakinya menjepit erat. Nafasnya memburu, terlihat dari perut dan dadanya yang naik turun tak beraturan. Tampaknya Mama Nina sudah mencapai orgasme. Aku mempercepat kocokanku hingga akhirnya cairanku tumpah ke lantai. Aku terengah-engah, sama seperti Mama Nina.

Beberapa saat kemudian Mama Nina memasukkan kembali “mainannya” ke dalam laci, lalu rebah lagi di ranjang. Wajahnya terlihat puas. Ia pasti kelelahan setelah melakukan masturbasi hingga akhirnya tertidur dalam keadaan telanjang bulat. Kubaringkan tubuhku di ranjang setelah kuberi cairanku yang berceceran di lantai dengan tisu. Nikmat sekali rasanya. Setelah kejadian itu, obsesiku pada Mama Nina makin dalam merasuki batinku.

Aku bukannya tak mau berusaha menjauhkan perasaan yang tak pantas itu dari lubuk hatiku. Menjelang akhir semester pertama aku menjalin hubungan khusus dengan teman sekampus, sebut saja namanya Nina. 

Aku berharap, berpacaran dengan Nina akan membuat obsesiku pada Mama Nina bisa teralihkan. Tapi nyatanya tidak. Meskipun aku berpacaran dengan Nina, tapi yang selalu hadir dalam khayalku menjelang tidur tetap saja Mama Nina.



Ketika aku mudik libur semesteran pun bukan Nina yang kurindukan, tapi Mama Nina. Aku benar-benar bingung menghadapi kenyataan ini. Sudah berkali-kali ku tekankan pada diriku sendiri, bahwa tak mungkin aku bisa mendapatkan cinta Mama Nina, tapi sulit sekali.

Seperti menghapus noda tinta di baju seragam. Makin digosok, nodanya makin melebar. Bahkan, saking rindunya, diam-diam kutelepon Mama Nina. Basa-basinya adalah menanyakan kabarnya dan kabar Papa. Padahal itu hanya sebagai modus untuk mengobati kerinduanku meski hanya mendengar suaranya.

Suatu hari Mama Nina memintaku menemaninya ke Singapore untuk menengok orang tuanya. Saat itu Papa sedang ke Jakarta untuk keperluan bisnis. Dengan bermobil kami berdua meluncur ke sana. Tapi kami tidak menginap. Sorenya kami kembali ke Batam.

Aku tak menolak ketika Mama Nina menawariku menginap di rumahnya, karena hari sudah malam. 

Justru itu yang kuharapkan, karena terus terang, selama bermobil dengan Mama Nina nafsuku meletup-letup melihat kemulusan pahanya.

Apalagi ketika ia condongkan sandaran jok ke belakang dan kemudian matanya terpejam. Ingin rasanya kususupkan jari-jemariku ke sela-sela roknya yang tersingkap setiap kali ia bergerak menggeser posisi berbaringnya. Tapi aku tak cukup punya nyali untuk berbuat senekat itu, walaupun keinginanku begitu kuat. Aku tak sabar ingin segera sampai di rumahnya dan berharap ia melakukan masturbasi lagi.

Hingga hampir jam 10 malam mataku tak letih memandangi monitor. Dengan menggunakan mode infrared keadaan kamar Mama Nina tetap bisa terlihat dengan baik. Hanya saja tampaknya harapanku tak terkabul. Mama Nina sepertinya sudah tidur, walaupun ia kadang bergerak, berganti posisi tidur.

Aku hampir putus asa menunggunya melakukan “adegan spektakuler” seperti sebelumnya dan berniat untuk tidur juga. Saat aku hendak beranjak dari kursi, kulihat Mama Nina bangun. Sesaat ia duduk di tepi ranjang, lalu berjalan menuju pintu. Mungkin ia hendak ke kamar kecil.

Kutunggu Mama Nina kembali ke kamarnya. Benar saja. Beberapa menit kemudian ia masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Selimutnya dibiarkan teronggok di sampingnya. Jantungku berdebar menunggu ia “beraksi”. Ia tampak gelisah, terlihat dari gerakan tubuhnya.

Kadang miring, kemudian kembali telentang. Setelah itu miring lagi sambil memeluk guling. Tak sampai lima menit, ia beranjak lagi dari tempat tidur, membenahi rambutnya, lalu keluar lagi. Aku menunggu dengan sabar di depan monitor.

Jantungku hampir copot saat terdengar bunyi “klek”, gagang pintu kamarku bergerak. Tapi karena terkunci, tidak bisa terbuka. Aku yang sedang tegang menunggu Mama Nina kembali ke tempat tidurnya bukan main kagetnya. Kuamati gagang pintu kamarku. Bergerak lagi. Aku diam terpaku di tempat dudukku, menduga-duga. Kalau bukan hantu, pasti Mama Nina yang melakukannya.

“Mau apa dia malam-malam ke kamarku?”, hatiku bertanya-tanya. Jantungku berdetak makin tak beraturan. Seketika terbersit dalam pikiranku untuk membuka pintu dengan satu harapan, ia menginginkan hal yang sama denganku. Begitu kubuka pintu kamarku, kulihat Mama Nina hendak masuk lagi ke kamarnya. Ia tampak kaget melihatku tiba-tiba muncul.

“Oh, kukira kamu sudah tidur, Lang”, ujarnya. Ia urungkan niatnya masuk ke kamar.

“Belum. Ada apa, Ma?”, jawabku sambil balik bertanya dengan nada agak gagap.

“Mama nggak bisa tidur. Mungkin tadi sempat ketiduran di mobil kali ya”.

“Kalau kamu belum ngantuk, temenin Mama nonton TV di kamar yuk”, ajak Mama Nina.

Karuan saja aku gugup. Keringat dingin menetes di dahiku. 

Buru-buru kututup pintu kamarku, takut kalau Mama Nina tiba-tiba nyelonong ke kamarku dan mendapati kalau aku mengamati kamarnya melalui komputer.

“Kok bengong? Ayo sini. Kita nonton di kamar Mama aja”, tukas Mama Nina sambil melambaikan tangan.

Dengan pikiran berkecamuk, kumasuki kamar Mama Nina. Mama Nina meraih remote dan menyalakan TV, sementara aku berdiri saja di depan pintu. Mama Nina menoleh ke arahku sembari berkata, “Sini, Lang”. Tangannya sigap membenahi bedcover lalu menepuk-nepuknya sebagai isyarat agar aku naik ke ranjangnya.

Kubuang jauh-jauh kecanggungan yang kurasakan dan kulangkahkan kaki menuju ranjang. Begitu kubaringkan tubuhku, Mama Nina berbaring di sebelahku sambil menyelimuti tubuh kami berdua. Udara di kamarnya memang dingin sekali. Entah karena AC-nya atau efek dari debaran jantungku saja.

Baru sesaat aku rebahan, Mama Nina yang postur tubuhnya mungil seperti Yuni Shara itu mencercaku dengan pertanyaan yang membuatku kelabakan.

“Tumben pakai ngunci pintu segala. Emang lagi ngapain, Lang?”.

Di saat aku mencari jawaban yang tepat, Mama Nina ngomong lagi dan aku jadi salah tingkah.

“Lagi onani ya? Nggak usah malu lah. Mama kan juga pernah muda. Tahu lah kebiasaan cowok seusia kamu”, tandas Mama disertai senyuman penuh arti.

Entah kenapa, ucapan Mama Nina yang terakhir itu membangkitkan keberanian untuk bicara.

“Iya, Ma. Habis lagi kepingin sih”. Sengaja ku katakan itu untuk memancing reaksinya. Aku sangat berharap ia bilang 



“Sini, Mama kocokin”. Jantungku berdebar menunggu jawabannya. Tapi ia hanya tertawa renyah.

“Nggak apa-apa. Itu hal biasa kok. Asal jangan keseringan aja”, tukas Mama, masih disertai tertawa kecil. 

“Nanti jadi cepat keluar lho”, lanjutnya.

Pembicaraan blak-blakan itu membuat kekakuanku mencair. Aku mulai berani mengimbangi obrolan panas Mama Nina.

“Ah, masa sih, Ma?”, aku bertanya asal saja dan tak butuh jawaban ilmiah.

“Kata orang sih. Mama sendiri mana tau? Kamu yang cowok harusnya tau”.

“Emangnya hanya cowok yang onani, Ma? Cewek emang nggak pernah”, cecarku mulai menjurus.

“Iya juga sih. Tapi cowok yang paling sering”, kata Mama. Tampaknya ia mulai gerah juga.

“Mama sendiri pernah nggak?”, pancingku.

“Idih, kamu apaan sih, tanyanya kok aneh-aneh gitu? Ya enggak lah”, tandas Mama. Sekilas wajahnya bersemu merah. Ia mengalihkan pembicaraan sambil memainkan remote TV. Sambil nonton TV, kami ngobrol tentang banyak hal. Meskipun begitu, debaran jantungku tetap saja menghentak tak karuan.

Apalagi saat kakiku bersenggolan dengan kaki Mama Nina. Kurasakan darahku berdesir. Ada semacam rasa nikmat yang menjalari sekujur tubuhku. Ingin rasanya kurengkuh tubuh Mama Nina dalam pelukanku dan menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi. 

Tapi aku takut ia marah dan melaporkannya ke Papa. Aku hanya bisa diam menahan gejolak nafsuku.

Tak terasa, sudah jam 12 malam. Kulihat Mama Nina beberapa kali menguap.

“Mama ngantuk ya?”, tanyaku.

“Iya. Kamu sudah ngantuk belum”, Mama Nina balik bertanya.

“Iya juga sih, Ma. Boleh nggak aku tidur sini?”, tukasku spontan.

“Emang kamu mau tidur sama Mama?”, Mama Nina menoleh ke arahku. Aku tak ingin kehilangan momen berharga dalam hidupku. Buru-buru kujawab.

“Kalau Mama ngijinin ya mau aja, Ma”.

Mama Nina tersenyum dan berseloroh, 

“Boleh aja, tapi jangan ngompol ya”. 

Aku nyengir kuda. Dalam hati aku girang sekali dapat kesempatan langka seperti itu. Aku beringsut dari ranjang dan bilang pada Mama Nina kalau mau buang air kecil. Begitu aku kembali, cahaya dalam kamar sudah berganti redup.

Kusibak selimut dan sekilas terlihat olehku paha mulus Mama Nina akibat baju tidurnya tersibak. Aku menghela nafas dalam-dalam dan kubaringkan tubuhku di sebelah Mama Nina sambil membenahi selimut yang cukup besar untuk kami pakai berdua.

Dalam keadaan seperti itu aku tak bisa tidur. Kuamati Mama Nina yang berbaring memunggungiku. Aku tak tahu ia sudah tidur atau belum, tapi nafsuku tak henti-hentinya bergejolak, menggodaku untuk melampiaskannya. Aku bertahan untuk tidak tergoda karena takut resikonya. Tapi gumpalan birahiku yang tertahan terus saja meronta-ronta, hingga membuatku mata hatiku gelap. Bodoh rasanya jika tak kumanfaatkan kesempatan emas itu.

Dengan berpura-pura sudah tidur, kugeser tubuhku hingga menempel ke punggung Mama Nina. Aku diam menunggu reaksinya. 

Karena Mama Nina bergeming, kumiringkan tubuhku hingga sejajar dengan tubuhnya. Rasa nikmat tiba-tiba saja menghentak saat “senjataku” menempel di pantat Mama Nina.

Aku diam lagi, menunggu. Karena tak ada reaksi, kulingkarkan satu tanganku ke tubuh Mama Nina seolah dalam keadaan tak sadar dan menganggapnya sebagai guling. Harum rambut Mama Nina merebak ke rongga hidung.

Sesaat kemudian kudengar Mama Nina menggumam lirih dan darahku berdesir ketika tangannya memeluk tanganku yang melingkar di tubuhnya. 



Gempuran nafsu birahi yang begitu kuat tak lagi mampu ku bendung. Kuciumi rambut Mama Nina, kemudian turun ke lengannya. Gairahku makin menjadi-jadi saat kudengar Mama Nina mendesah.

Satu tanganku menjalari pahanya dengan beberapa kali usapan lembut sebelum menyusup ke balik baju tidur dan mulai memainkan jari tengahku di sela-sela bagian bawah tubuhnya. Aku melakukannya dengan selembut mungkin dengan harapan Mama Nina akan terangsang. Harapanku terkabul. 

Pelan-pelan Mama Nina membuka kedua kakinya. Tak terlalu lebar, tapi sudah cukup buatku untuk lebih leluasa memainkan jariku.

Mama Nina kembali mendesah lirih. Kusibak lebar-lebar selimut yang menutupi kami berdua karena aku ingin melihat langsung permainan jariku. Aku harus bersabar melakukan itu dan kesabaranku membuahkan hasil. Bukaan kaki Mama Nina makin lebar dengan satu lututnya terlipat sedikit.

Pelan-pelan kuselipkan jariku ke celana dalam Mama Nina hingga kurasakan bulu-bulu halusnya. Begitu jariku menyentuh “miliknya” yang lembut, langsung kumainkan jariku. Mula-mula ku usap bibir kemaluan Mama Nina. 

Kemudian pelan-pelan usapanku beralih ke bagian tengah. Kulihat perut Mama Nina mengempis seperti sedang menahan nafas. “Miliknya” kurasakan mulai basah.

Mama Nina yang terlihat pasrah membuatku makin berani. 

Kulorot celana dalamnya dengan hati-hati sampai lepas. Aku ingin mempraktekkan adegan yang kulihat di film biru. Kutelungkupkan tubuhku di atas kaki Mama Nina dan mulai menjilati organ sensitifnya. Sekali lagi Mama Nina mendesah disertai dengan gerakan mengangkang. Aku tak tahu apakah Mama Nina sadar melakukan itu atau hanya refleks saja.

Tapi kulihat matanya masih terpejam. 

Kulanjutkan jilatanku dengan penuh perasaan. Ternyata memang mengasyikkan. Ada sensasi tersendiri melakukan itu. Apalagi saat pinggul Mama Nina bergerak-gerak, seolah merespon kenikmatan yang kuberikan.



“Lang, ngapain kamu?”, ujar Mama Nina tiba-tiba sambil bertumpu di keduanya dan menatapku. Aku sedikit kaget dan balas menatapnya. 

Kutunggu reaksinya, marah atau tidak. Tapi begitu Mama Nina berbaring lagi, kulanjutkan lagi permainan lidahku dengan lebih agresif. Sesekali pinggul Mama Nina bergerak mengikuti irama permainanku.

“Ooh, sudah, Lang. Nanti keterusan… Ohh”, desis Mama Nina. Tangannya mencengkeram kuat rambutku. Tak kuhiraukan permintaannya. Makin kuat ia mencengkeram aku, makin dahsyat jilatanku hingga lidahku masuk ke “miliknya”.

Dengan dorongan yang agak kuat pada kedua paha Mama Nina ke arah yang berlawanan kuisyaratkan agar ia lebih mengangkang lebih lebar lagi. Agaknya Mama Nina makin terangsang dengan aksiku. Ia pasrah saja “miliknya” kuhujani dengan lidah dan bibirku habis-habisan.

Puncaknya, pinggul Mama terangkat disertai goyangan yang makin kencang, seolah mengimbangi tarian lidahku. Desahnya makin tak terkendali. Kedua tangannya mencengkram erat seprei tempat tidur. Goyangannya melemah saat desah panjang keluar dari mulutnya.

“Sudah, Lang. Mama sudah orgasme … Ohhh …”, desisnya seraya menahan kepalaku agar tak bergerak lagi. Pelan-pelan pinggulnya turun lagi.

Ciumanku pun kemudian beralih ke perut dan berakhir di dadanya. Kusibak belahan dasternya agar bisa kucumbui dua bukitnya yang indah. Mama Nina melingkarkan kedua tangannya di punggung pertanda ia menikmati cumbuanku. 

Sambil menciumi dadanya, tanganku menjelajahi selangkangannya. 

Tampaknya Mama Nina tergoda untuk mengimbangiku. Satu tangannya beralih ke celanaku.

Tak puas dengan meraba bagian luar, tangan Mama Nina pun kemudian menyusup ke dalam celanaku dan mulai menggenggam dan mengusap lembut “milikku” yang sudah berdiri tegak. 

Saat itulah ciumanku beralih ke lehernya yang jenjang. Kubungkukkan tubuhku sedikit hingga “milikku” bisa kugesek-gesekkan ke “milik” Mama Nina. Mama Nina mendesah dan mendesis yang segera kubungkam dengan pagutan di bibirnya.

Kami pun berciuman dalam balutan nafsu birahi yang menggelegak. 

Mama Nina mencengkeram T-shirt yang kukenakan dan menariknya ke atas. Aku pun berhenti sejenak untuk melepas T-shirt.

Kuminta Mama Nina untuk duduk di ranjang, sementara aku berpindah posisi di belakangnya. 

Kusibak rambut Mama Nina dan kucumbui lehernya, sementara kedua tanganku meremas-remas kedua bukitnya. Mama Nina menoleh ke arahku hingga kami bisa saling berpagutan lagi.

Beberapa saat kemudian aku rebah di ranjang. Mama Nina melepas dasternya sebelum melucuti celanaku, lalu mengulum”milikku” dengan gerakan lembut. Begitu nikmat hisapannya hingga aku telentang seolah tanpa daya.

Sampai sejauh itu aku masih merasa seperti mimpi, telanjang berdua dengan Mama Nina dalam panasnya api birahi. Rasanya sulit dipercaya kalau peristiwa yang selama ini hanya ada dalam khayalku, saat itu benar-benar terjadi. 

Aku sadar kalau itu salah.Tapi dalam keadaan seperti itu, siapa yang bisa berhenti?

Kubiarkan Mama Nina menikmati “milikku” sesuka hatinya. Hangatnya mulut Mama Nina melambungkanku dalam sebuah perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Setelah puas melakukan oral, Mama Nina duduk di atasku.

Aku menunggu detik-detik mendebarkan saat “milikku” menembus “miliknya”, tapi tak terjadi. “Milik” kami berdua hanya saling bergesekan saat Mama Nina merebahkan tubuhnya diatas tubuhku sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya ke depan dan ke belakang. Kami saling berpagutan untuk melengkapi sensasi nikmat gesekan itu.

“Milik” Mama Nina terasa telah demikian basah, hingga tak heran akhirnya “senjataku” amblas ke dalam “miliknya”. Mama Nina mendesis dan menelungkupkan wajahnya di leherku. Kupegang erat-erat pantat Mama Nina saat aku mulai menggoyang pinggulku karena Mama Nina tak kunjung bergoyang.

Lama-lama ia pun mengimbangi gerakanku. Mula-mula masih dengan telungkup sebelum kemudian bangkit dan mulai bergerak naik-turun dengan ritme lambat. Tanganku leluasa menggerayangi payudaranya yang bergerak kesana-kemari.

Untuk beberapa saat kubiarkan Mama Nina bergoyang di atasku. Setelah itu aku bangkit karena tak tahan untuk tidak mencumbu dua bukit ranumnya. Gara-gara itu goyangan Mama Nina melambat. Tak lama setelah itu ia mendorongku agar rebah lagi. Agaknya ia kurang bebas bergerak. Begitu aku rebah, Mama Nina langsung tancap gas.

Ritme goyangannya makin kencang sebelum kemudian tubuhnya meregang disertai desahan panjang dari mulutnya yang indah. Ia rebahkan lagi tubuhnya di atasku. Nafasnya memburu, sementara kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat bahuku.

“Udah orgasme, Ma?”, tanyaku mesra di telinganya.

“Iya, sayang … Ohh …”, jawab Mama Nina terengah-engah.

Terbesit rasa bangga dalam hatiku. Aku berhasil membuat Mama Nina orgasme. 

Kubiarkan ia menikmati orgasmenya beberapa saat. Setelah nafasnya kembali tenang, kuminta ia untuk menungging. Tanpa diminta dua kali, Mama Nina beringsut menuruti permintaanku. Begitu ia sudah siap, kutancapkan “milikku” ke dalam “miliknya”. Mama Nina langsung mendesah lirih, “Oohhh …” saat “milikku” tertanam dalam-dalam di “miliknya”.

Aku pun mulai melakukan gerakan maju-mundur pelan-pelan. Kunikmati betul-betul momen yang selama ini hanya ada dalam imajinasiku. Kuusap lembut pantat Mama Nina, merasakan kelembutannya.

Setelah itu tanganku turun ke dadanya, meremas-remasnya dengan penuh perasaan. Kemudian, gerakan dipercepat. Beberapa kali Mama Nina memekik tertahan saat “milikku” menghujam dalam ke “miliknya”. Tangannya mencengkeram kuat-kuat seprai tempat tidur.

Gerakanku semakin cepat ketika kurasakan “laharku” dalam “kawahku” akan meledak. Aku tak bisa menahan desahanku saat spermaku kutumpahkan ke pantat Mama Nina. Mama Nina merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara aku masih bertumpu pada kedua lututku, merasakan detik-detik puncak kenikmatan hingga tetesan spermaku yang terakhir. Setelah itu aku turun dari ranjang untuk mengambil tisu.

Mama Nina masih tertelungkup di ranjang, meski tubuhnya sudah dibersihkan dari spermaku. Kubaringkan tubuhku di sampingnya. Mataku menerawang ke langit-langit kamar dengan pikiranku melayang. Aku telah memulai satu babak baru dalam kehidupanku. Kenikmatan seks. Meski terasa sebentar, tapi aku yakin efeknya akan sangat panjang. Apalagi aku melakukannya dengan Mama Nina yang notabene Mama tiriku, istri kedua Papa.

Saat tengah melamun, kudengar Mama Nina menghela nafas. Kumiringkan tubuhku dan memeluknya.

“Mama marah ya?”, ujarku memecah kesunyian. Mama Nina tak menjawab. Ku Palingkan wajahnya ke arahku. Kulihat kedua matanya basah. Ia menangis. Aku jadi merasa bersalah. Kudekap erat tubuhnya.

“Maafin aku ya, Ma”, ucapku lirih.

Mama Nina tak menjawab. Bahkan kemudian ia melepaskan pelukanku, membenahi selimut dan berbalik memunggungiku. Tentu saja hal itu membuatku salah tingkah. Setelah diam beberapa saat, Mama Nina kupeluk dari belakang sambil menciumi rambutnya. Mama Nina bergeming.

Sesekali kudengar isaknya tertahan. Keheningan yang merebak dan Mama Nina yang masih saja membisu membuatku kikuk. Memang aku semakin merasa bersalah, tapi mau apa lagi? Semuanya sudah terjadi. Percuma disesali.

Karena merasa tak dihiraukan Mama Nina, aku beranjak dari ranjang, kukenakan bajuku. Lalu aku kembali ke kamarku. Saat itulah aku baru ingat kalau komputerku masih menyala. Artinya, yang kulakukan dengan Mama Nina terekam di situ. Kuputar ulang rekaman itu.

Kupandangi tak berkedip adegan ranjangku dengan Mama Nina yang berdurasi sekitar 23 menit terhitung sejak aku mulai mengusilinya. 

Kusimpan file rekaman itu dalam folder yang disembunyikan dengan file yang lain.

Meski mencoba terpejam, tapi aku tak bisa tidur. Pikiranku berkecamuk, antara bangga bisa membuat Mama Nina orgasme, dengan rasa bersalah. Mungkin Mama Nina juga merasa bersalah telah melakukan persetubuhan denganku dan ia menyesalinya. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana saat bertemu Mama Nina esok paginya. Yang jelas, pasti akan canggung.

Entah kenapa, tiba-tiba muncul rasa kesal pada Mama Nina ketika aku bangun tidur pagi harinya. Jika memang tak ingin itu terjadi, seharusnya ia tak mengajakku masuk ke kamarnya. Bagaimanapun juga, aku laki-laki dewasa dan Mama Nina adalah orang lain yang kebetulan dijadikan istri kedua oleh Papa.

Mungkin saja ia malu telah kutiduri, dan menutupi rasa malunya dengan menangis. Kekesalanku kemudian malah melunturkan rasa bersalahku. Aku bertekad untuk membuang jauh-jauh kecanggungan pada Mama Nina. Justru sebaliknya, akan kutunjukkan pada Mama Nina kalau aku benar-benar menyukainya. Kekesalanku pada Mama Nina membuat semangatku menyala lagi.

Bergegas aku bangkit dari tempat tidur. Saat sayup-sayup kudengar gemercik air dari kamar mandi, kuraih handukku. Dengan langkah ringan kumasuki kamar Mama Nina yang terbuka lebar. Kuketuk pintu kamar mandi dari dalam kamar tidurnya.

“Ma, ikutan mandi dong”, ujarku begitu Mama Nina membuka pintu sedikit dan menampakkan wajahnya. Sebuah handuk ia tutupkan di tubuhnya yang basah. Mama Nina tampak kaget melihat permintaanku yang tiba-tiba itu.

“Boleh ya, Ma? Aku pengen sekali-sekali dimandiin Mama”, rayuku dengan wajah memelas. Mama Nina menatapku dalam-dalam. Ia seperti sedang berpikir. 

Mungkin sedang menimbang-nimbang, apakah memperbolehkan atau tidak. Aku mematung tepat di depan pintu kamar mandi menunggu jawabannya.

Hatiku girang bukan kepalang ketika Mama Nina mundur sambil membuka pintu kamar mandi. Tanpa sungkan aku nyelonong masuk, menggantung handuk di hanger, lalu melepas baju dan celanaku. Tak kuhiraukan Mama Nina yang mematung di depan pintu kamar mandi.

 Kuguyur tubuhku dengan air yang mengucur dari shower.

Tanpa beban, kutoleh Mama Nina dan kuajak untuk bergabung di bawah pancuran air, tapi Mama Nina bergeming. Kuhampiri ia, kuambil handuk yang ia pegangi untuk menutup sebagian tubuhnya dan ku gantung di hanger, lalu ku gamit tangannya dan menggendongnya menuju shower.

Saat itu sebetulnya aku sudah terangsang. Aku yakin Mama Nina tahu aku terangsang karena jelas-jelas “senjataku” mulai membesar, tapi belum berdiri. Aku berharap ia pun terangsang melihat “milikku”. 

Tapi aku menahan diri agar Mama Nina merasa nyaman dulu. Aku tak ingin terlihat grusa-grusu. Aku menjauh dari shower untuk menggosok gigiku, sementara Mama Nina mulai membasuh tubuhnya dengan sabun cair.

Usai menggosok gigi, aku kembali ke bawah shower, meminta sabun dari Mama Nina dan menyabuni diriku sendiri. Setelah itu aku berpindah ke belakang Mama Nina untuk menyabuni punggung sampai ke kakinya. Sejauh itu Mama Nina masih diam membisu. Tapi aku tak peduli.

Aku terus saja menyabuni paha dan betis belakangnya sebelum kemudian beralih ke betis dan paha depan. “Miliknya” yang tepat berada di depan hidungku membuatku tergoda untuk memungutnya. Aku bertahan untuk tidak melakukannya.

“Gantian, Ma”, ujarku sambil berdiri dan memunggunginya. 

Mama Nina menuruti permintaanku. Sambil berlutut, Ia sabuni punggung hingga betisku, persis seperti yang kulakukan padanya. Kuputar tubuhku hingga Mama Nina bisa beralih menyabuni betis dan paha depanku.

Tak hanya itu, Tanpa kuminta, Mama Nina menyabuni juga “senjataku”. Mau tak mau, “senjataku” pelan tapi pasti makin mengeras dan berdiri. Agaknya Mama Nina juga menahan diri. Buktinya, setelah itu ia bangkit dan menghidupkan lagi showernya. Berdua kami mengguyur tubuh dari busa sabun. Semerbak wanginya membuatku semakin bergairah.

Sesaat kemudian Mama Nina berjalan menuju hanger dan mulai membersihkan tubuhnya dengan handuk, sementara aku masih mengguyur tubuhku dengan air shower. Saat Mama Nina mulai memakai baju, aku menyusulnya dan menghanduki tubuhku. Saat itulah kupeluk Mama Nina dari belakang.

Ia tampak seperti kaget dan berusaha menyingkir dariku. Mempererat pelukanku sambil menciumi rambutnya yang basah, sementara satu tanganku bergerilya di dadanya dan satu lagi di pahanya.

Tak lama kemudian kuputar tubuh Mama Nina agar menghadap ke arahku. Mama Nina memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti maknanya. Tapi aku sudah kepalang nekad. Dengan lembut kupagut bibirnya. Mama Nina diam saja, tak membalas ciumanku. Masa bodoh, pikirku.

Kuhujani bibirnya dengan ciuman lembut, kemudian turun ke lehernya. “Senjataku” menempel ketat di perutnya. Sedikit demi sedikit kudorong Mama Nina sampai ke dinding dekat pintu kamar mandi. Dengan begitu aku lebih mudah mencumbui Mama Nina tanpa khawatir ia terdorong lalu jatuh.

Dari leher, ciumanku beralih ke kedua bukitnya.

“Sudah, Lang … sudah …”, desisnya lirih disertai dorongan di bahuku. Aku tak menggubrisnya. Kumainkan lidahku di kedua putingnya bergantian melalui belahan dasternya. Setelah puas “menyusu”, pelan-pelan ciumanku beralih, turun ke perutnya, dan berakhir di “miliknya” yang tertutup celana dalam. Satu tanganku menyibak dasternya. Mama Nina merapatkan kedua pahanya, tapi aku pantang menyerah. Dijulur-julurkan lidahku di sela-sela pahanya.

“Sudah, Lang …”, sekali lagi Mama Nina mencoba mendorongku ke belakang. Tanganku menggenggam kuat-kuat pinggulnya sambil terus memainkan lidahku. Saat dorongannya lemah, kulepas celana dalam Mama Nina.

“Jangan, Lang”, cetusnya sambil menahan celana dalamnya yang sudah melorot sampai ke paha. Aku tak memaksa. Kulanjutkan jilatanku di “miliknya” yang sudah tak tertutup celana dalam. Pelan-pelan kuisyaratkan pada Mama Nina untuk membuka kedua kakinya. Semula ia bergeming, tapi sedikit demi sedikit mulai merenggang.

Kesempatan itu tak kusia-siakan. 

Gempuran lidahku di “miliknya” makin gencar hingga membuatnya tak bisa menahan desah. Genggaman di celana dalamnya pun melemah yang membuatku dengan mudah melepas celana dalamnya sampai ke kakinya.

Mama Nina berhasil kubuat terangsang. Kedua kakinya makin terbuka lebar. Tangannya mencengkeram kepalaku, tapi tidak bermaksud mendorongku. 

Justru seolah memintaku untuk tak menghentikan jilatanku. Desahannya terdengar begitu merdu di telingaku. Desah perempuan yang terbakar birahi. Pinggulnya bergoyang seirama dengan permainan lidahku. Tak lama kemudian, kedua kakinya menegang dan agak gemetar. Ia orgasme.

Tak perlu menunggu lama untuk babak berikutnya. Mama Nina ganti jongkok di depanku sementara aku bersandar di dinding. Saat ia menghisap “milikku”, kubuka dasternya. Kami telanjang lagi. Kunikmati setiap hisapannya, seakan itu adalah yang terakhir.

Selesai melakukan oral, Mama Nina berdiri dan langsung menciumku. Kuputar tubuhnya ke arah dinding. Sambil berciuman, kuangkat satu kakinya dan ku bungkukkan sedikit tubuhku agar aku bisa menghujamkan “milikku” ke “milik” Mama Nina.

Ia memekik lirih, disusul dengan desahan panjang saat “senjataku” mentok di dalam “miliknya”. 

Kuminta Mama Nina berpegang erat di bahuku. Dengan begitu ia bisa bergelayut di tubuhku dan aku bergoyang maju-mundur.

Setelah beberapa genjotan, aku keluar dari kamar mandi dengan Mama Nina masih menggelayut. Gerakan saat berjalan menuju ranjang ternyata tak kalah nikmat, karena sama juga dengan bergoyang. Sampai di ranjang kurebahkan Mama Nina dan kami lanjutkan pertarungan babak kedua sampai tuntas.

Tak seperti kemarin, Mama Nina terlihat lebih rileks usai percintaan itu. Ia merebahkan tubuhnya diatas tubuhku yang masih terengah-engah, sehingga sperma yang kutumpahkan di perutnya menempel di perutku juga. Tapi ia sama sekali tak terlihat risi. Bahkan ia pun tak pelit bicara.

“Lang, sebetulnya apa sih maksudmu?”, tanyanya membuka percakapan. Aku bisa menebak arah pembicaraannya.

“Terus terang aku jatuh cinta sama Mama waktu pertama kita bertemu”, jawabku.

Mama Nina yang semula merebahkan kepalanya di dadaku berpaling menatapku.

“Tapi itu ‘kan nggak mungkin, Lang. Bagaimanapun juga aku Mamamu”, tukas Mama Nina.

“Memang nggak mungkin sih. Tapi orang kalau sudah terlanjur jatuh cinta gimana hayo?”, cetusku. Aku senang dengan percakapan ini, karena merupakan kesempatanku untuk mencurahkan perasaanku pada Mama Nina.

“Aku suka cemburu kalo liat Mama mesra sama Papa”, lanjutku. Mama Nina mencubit mesra lenganku.

“Mama pikir kamu cuma nafsu aja”, kata Mama Nina dengan tatapan mata penuh selidik.

“Nafsu itu ‘kan timbulnya dari cinta, Ma. Mana mungkin nafsu kalau nggak ada cinta”, kasihku.

“Kalo cowok sih bisa aja, Lang”, sergah Mama Nina.

“Yang namanya cowok tuh seperti kucing. Asal liat ikan asin langsung deh diembat”, lanjutnya.

“Ya, tapi ‘kan nggak semua cowok”, aku tak mau kalah.

“Iya deh, Mama ngalah”, ujar Mama Nina.

“Jadi boleh ya Ma, aku cinta sama Mama?”

“Kok balik nanya? Tadi katanya terlanjur cinta, gimana sih?”, tutur Mama Nina dengan nada manja. Aku nyengir.

“Terima kasih ya, Ma. Daripada aku onani terus hayo …”, selorohku. Lagi-lagi Mama Nina mencubitku.

“Oh iya, tadi Papa telepon. Katanya minta dijemput jam 11”, kata Mama. Spontan wajahku kecut. Mama Nina melihat perubahan air mukaku.

“Kok gitu? Bukannya seneng mau ketemu Papa?!”, ujarnya menanggapi responku. Aku tak menjawab. Kuusap lembut rambut Mama Nina sambil melihat jam dinding. Jam 8 pagi.

“Lagi yuk, Ma”, ajakku spontan. Mama Nina menengadahkan wajahnya dan menatapku dengan tatapan heran.

“Memangnya masih bisa apa?”

“Coba aja”, tentangku. Kubimbing tangan Mama Nina ke kemaluanku. Ia tanggap maksudku. Ia remas dan kocok “milikku”, sementara ia geser maju tubuhnya hingga kami bisa saling berciuman. Dalam waktu singkat “senjataku” siap tempur lagi. Apalagi ketika Mama Nina mengulumnya beberapa saat. Sekali lagi kami tenggelam dalam lautan birahi yang memabukkan.



Tepat jam 11 aku dan Mama Nina sudah berada di bandara. Sekitar 15 menit kemudian kulihat Papa di antara para penumpang keluar dari gate kedatangan. Memang tampak kalau Mama Nina berusaha menjaga perasaanku. Tapi tak urung aku melengos buang muka saat Papa mengecup bibir Mama Nina begitu mereka bertemu.

Aku tak bisa menyalahkannya. Ia istri sah Papa. Aku tak berhak cemburu walaupun tubuhku dan tubuh Mama Nina sudah menyatu dalam panasnya bara birahi. Ibarat kata, meski sudah kunikmati tubuh Mama Nina, tapi bukan berarti aku memilikinya. Aku sadar betul akan hal itu.

Sekeluar dari bandara kami singgah di restoran untuk makan siang. Usai makan, aku minta langsung diantar ke kos, tapi Papa keberatan. Katanya ia capek sekali. Kalau harus mengantarku akan butuh waktu lama karena jauh. Ia berjanji malam harinya akan mengantarku.

Setiba di rumah Papa, aku langsung tiduran di kamar. Tapi aku tak bisa tidur karena pikiranku melayang membayangkan apa yang dilakukan Papa dan Mama Nina di dalam kamar mereka. Isengku pun kambuh. Kunyalakan komputer. Aku ingin memastikan dugaanku. Ternyata benar. 

Di layar komputer aku melihat Papa dan Mama Nina berciuman sambil melepas baju masing-masing. Artinya mereka baru mulai.

Dengan jantung berdebar kusaksikan adegan percintaan mereka. Diam-diam aku terangsang melihat mereka bercumbu di ranjang dalam keadaan telanjang bulat. Hanya saja tak berlangsung lama. Dari timer yang tertera di layar monitor, tak sampai 5 menit Papa sudah terkapar di sisi Mama Nina. Saat Papa terbaring kelelahan, Mama Nina beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Setelah itu Mama Nina mengenakan daster dan berbaring di sebelah Papa.

Aku pun kemudian mematikan lagi komputerku dan kembali rebahan di ranjang. Otakku terus berpikir. Mungkin Mama Nina melakukan masturbasi karena merasa tak puas dengan Papa. Mungkin hal itu pula lah yang membuatnya tak menolak saat aku mulai mencumbunya. Ada sepercik rasa bahagia telah memberi Mama Nina kepuasan batiniah.

Entah berapa lama aku melamun, hingga tak menyadari kalau Mama Nina membuka pintu kamarku. Di tangannya ada sesuatu.

“Ngelamun aja, Lang. Mama kirain sudah tidur kamu”, ujar Mama Nina sambil menutup pintu kamar lalu melangkah menuju ranjangku.

Aku menoleh ke arahnya seraya bertanya, “Apa itu, Ma?”

Mama Nina tersenyum penuh arti, “Ini oleh-oleh dari Papa buat kamu”. Ia sodorkan benda yang ternyata HP model terbaru saat itu.

Seketika aku bangkit dari berbaringku dan duduk di sebelah Mama Nina. Kubuka kardus pembungkus HP dan kuamati isinya.

“Gimana, Lang? Suka nggak?”, tanya Mama Nina.

“Suka. Mana Papa, Ma? Aku mau bilang terima kasih…”, aku pura-pura tak tahu.

“Lagi tidur, sayang. Entar sore aja ngomongnya ya”, kata Mama Nina sambil mencolek hidung yang kembang kempis karena dipanggil “sayang”. Wajahnya begitu dekat denganku, hingga aku terdorong untuk memagut bibirnya. Mama Nina menyambut pagutan aku dan kami berciuman. Sebentar kemudian Mama Nina berdiri.

“Udah ya. Mama balik ke kamar”, katanya. Dengan berat hati kubiarkan Mama Nina berlalu dari kamarku. Ingin rasanya ku cegah ia lalu mengajaknya bercinta lagi saat kupandangi tubuh mungilnya yang berbalut daster tipis dan sexy berjalan menuju pintu, tapi tak kulakukan. Tak etis rasanya menidurinya di saat Papa ada di rumah. Toh masih banyak waktu dan kesempatan di kemudian hari. Aku pun kembali tenggelam dalam kesunyian.

Obsesiku pada Mama Nina berpengaruh pada hubunganku dengan Nina. Aku jadi mengabaikannya. Malam minggu pun aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah Papa daripada mengadilinya. Tak heran jika kemudian kami putus. Sebaliknya, hubungan gelapku dengan Mama Nina makin menggelora.