Senangnya punya Ibu Tiri Sexy

 Sampai saat ini, Marni masih belum juga hamil, padahal ia dan mas Andre tidak pernah lelah berusaha. Ah, mungkin memang belum rejekinya. Marni berusaha menerima dengan ikhlas dan lapang dada. Toh kini sudah ada Cecep yang menemani hari-harinya. Dan bagusnya, bocah itu bisa bertindak lebih dari sekedar anak.

Itu dibuktikan Cecep saat mereka berbincang berdua sambil menunggu mas Andre yang bekerja lembur. Berdua mereka duduk di sofa ruang tengah, di depan televisi. Mereka mengobrol banyak, mulai dari sekolah Cecep hingga saat-saat intim mereka berdua yang menjadi semakin sering.

”Kamu nggak bosen nenen sama Umi?” tanya Marni sambil membelai rambut Cecep yang lagi-lagi tenggelam ke belahan buah dadanya.

Dengan mulut penuh payudara, Cecep berusaha untuk menjawab, 

”Ehm… enggak, Susu umi enak banget!”

”Saat aku kocok gini, enak juga nggak?” tanya Marni yang tangannya mulai menerobos ke dalam lipatan sarung Cecep.Cecep melenguh pelan saat merasakan jari-jari Marni melingkupi batang kemaluannya dan mulai mengocok pelan benda coklat panjang itu. 

”Hmm, enak, Mi.” sahutnya jujur.

Marni tersenyum, dan melanjutkan aksinya. Terus ia permainkan batang penis sang putra angkat hingga Cecep melenguh kencang tak lama kemudian. Badan kurusnya kejang saat spermanya berhamburan mengotori sarung dan tangan Marni. 

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Marni memperhatikan tangannya yang belepotan sperma, dan selanjutnya menggelapkan ke sarung Cecep. Lalu dipeluknya bocah itu penuh rasa sayang.

”Terima kasih, Mi.” gumam Cecep di sela-sela pelukan mereka.

Marni mengecup pipinya lalu membimbing anak itu untuk pindah ke kamar, sekarang sudah waktunya untuk tidur. Tapi Cecep tidak langsung beranjak, ia tetap duduk di sofa, sementara Marni sudah berdiri di hadapannya. Cecep menengadah memandangnya dengan tatapan sayu. Dengan nada bergetar, bocah itu berucap, 

” Cecep sayang Umi,” sambil mulutnya mendekat untuk mencium kemaluan Marni.

Marni jadi bingung, mau menolak, tapi takut membuat Cecep kaget dan malu. Dibiarkan, ia tahu apa yang diinginkan bocah kecil itu. Belum sempat menjawab, tangan Cecep sudah menyusup ke balik dasternya untuk mengusap paha Marni dari luar. Dan terus makin ke atas hingga menemukan CD yang membungkus pantat bulatnya.Marni sedikit terhentak saat Cecep memegang dan menarik turun kain mungil) itu. 

”Ah, Cecep! Apa yang kamu lakukan?” teriaknya, tapi tetap membiarkan sang putra angkat menelanjangi dirinya. Ia berpikir, mungkin Cecep hanya akan menciumnya sesaat saja.

Tapi tebakannya itu ternyata salah. Memang Cecep cuma mencium pelan, hanya bagian luar yang dijamah oleh bocah kecil itu. Tapi itu cuma awal-awal saja, karena selanjutnya, saat melihat tidak ada penolakan dari diri Marni, ia pun melakukan yang sebenarnya,Cecep mengangkat salah satu kaki Marni ke sandaran sofa hingga kini selangkangan sang ibu angkat terbuka jelas di depan matanya. Diperhatikannya kemaluan Marni yang basah merona kemerahan untuk sesaat, sambil tangannya meremas dan mengelus-elus bongkahan pantat Marni dengan gemas.

”Ehm,” Marni melenguh, tubuh sintalnya mulai bergetar. 

Ia yang awalnya ingin menolak, kini malah terdiam mematung. Marni pasrah saja saat bibir kemaluannya mulai disentuh oleh Cecep, dari mulai jilatan yang sopan hingga semakin lama menjadi semakin gencar. Akhirnya Marni malah merapatkan kemaluannya ke bibir Cecep dan tanpa sadar mulai menggoyangkan pinggulnya. Aksinya itu membuat Cecep semakin leluasa menciumi lubang kemaluannya.

”Ough…” Marni merasakan lidah Cecep semakin kuat menari dan menjelajahi seluruh lekuk kemaluannya.Ia merasakan cairan kewanitaannya semakin deras mengalir seiring dengan rangsangan Cecep yang semakin kuat. 

Entah darimana bocah itu belajar, tapi yang jelas, jilatan dan hisapannya sungguh terasa nikmat. Tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh mas Andre membuat Marni merintih kegelian, namun terlihat sangat menyukai dan menikmatinya. Ia elus-elus kepala Cecep yang terjepit di antara pangkal pahanya, hingga akhirnya tubuhnya mengejang dan menekuk kuat tak lama kemudian.Cecep yang tidak mengetahui kalau Marni akan mencapai puncak, terus menghisap kuat-kuat disana. 

“Uuhh…” didengarnya sang ibu angkat melenguh sambil menghentak-hentakkan pinggulnya. Dari dalam lubang surga yang tengah ia nikmati, mengalir deras cairan bening yang terasa agak sedikit kecut.Baunya pesing, seperti bau air kencing. 

Cepat Cecep menarik kepalanya, tapi tak urung, tetap saja beberapa tetes air mani itu membasahi mukanya. Diperhatikannya Marni yang saat itu masih merapatkan kaki dengan tubuh mengejang-ngejang pelan. 

Selanjutnya, tanpa suara, istri Andre itu jatuh lunglai ke atas sofa, menindih badan kurus Cecep ke dalam pelukannya.

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Marni berusaha untuk mengatur nafasnya, sementara Cecep dengan polos melingkarkan tangan untuk mengusap-usap bokong bulat Marni yang masih terbuka lebar.

”D-darimana kamu belajar seperti i-itu, Cecep?” tanya Marni saat gemuruh di dadanya sedikit mulai tenang.

Cecep memandangnya,

”Dari Umi,” jawabnya polos.

“Jangan ngawur kamu, Umi nggak pernah ngajarin yang seperti itu.” sergah Marni sedikit berang.

“Memang nggak pernah, tapi Umi pernah memintanya.” sahut Cecep.

“Meminta? Maksud kamu…”Cecep pun berterus terang. 

Kemarin ia memergoki kedua orang tua angkatnya bercinta di ruang tengah, di sofa dimana mereka tengah berpelukan sekarang. Saat itu Marni meminta agar mas Andre mengoral kemaluannya, tapi laki-laki itu menolak dengan alasan jijik dan dilarang oleh ajaran agama.

Marni memang kelihatan kecewa, tapi bisa mengerti. Cecep yang terus mengintip jadi menarik kesimpulan; perempuan suka jika kemaluannya dijilat. Dalam hati Cecep berjanji, ia akan melakukannya untuk membalas budi baik Marni yang selama ini sudah merawat dan menyayanginya.

”Kamu sudah salah paham, Cecep,” di luar dugaan, bukannya senang, Marni malah terlihat ketakutan.

”Kenapa, Mi?” tanya Cecep kebingungan.

“Setelah menjilat, kamu pasti akan melakukan hal lain, seperti yang kamu tonton kemarin malam. Benar kan?” tuduh Marni.

Cecep terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memang sempat terbesit di hati kecilnya untuk melakukan apa yang sudah diperbuat kedua orang tua angkatnya. Sepertinya nikmat sekali. Sebagai seorang remaja yang baru tumbuh, ia jadi penasaran, dan ingin merasakannya juga. Cecep sama sekali tidak mengetahui kalau itu sangat-sangat dilarang dan tidak boleh.

“Ah, ini salah Umi juga.” keluh Marni, pelan ia menarik tubuhnya dan duduk di sisi Cecep.

Tangan Cecep yang terulur untuk memegangi bongkahan payudaranya, ditepisnya dengan halus. Cecep jadi terdiam dan menarik diri Marni merapikan bajunya kembali.

“M-maaf, Mi.” lirih Cecep dengan muka menunduk, sadar kalau sudah melakukan kesalahan besar.

“Tidak apa-apa. Tapi mulai sekarang, jangan nenen sama Umi lagi, kamu sudah besar.” putus Marni sambil bangkit dan beranjak menuju kamar, meninggalkan Cecep sendirian di ruang tengah menyesali kebodohannya.

Esoknya, Marni menyiapkan sarapan dalam diam. Dia yang biasanya ramah dan ceria, hari ini terlihat seperti menanggung beban berat. Mas Andre bukannya tidak mengetahui hal itu, tapi dia mengira Marni cuma lagi PMS saja. Tapi setelah ditunggu berhari-hari, dan sang istri tercinta tetap cemberut saja, bahkan cenderung keras hati, ia pun mulai curiga.

”Ada apa, Mer? Kuperhatikan, kamu berubah akhir-akhir ini. Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantu.” Marni menggeleng,

”Ah, nggak, Mas. Tidak ada apa-apa, aku cuma lagi capek aja.”

”Jangan bekerja terlalu keras. Ingat, kita kan lagi program hamil.” Mas Andre mengingatkan.

Marni berusaha untuk tersenyum, ”Iya, Mas.” Dan saat sang suami merangkul lalu mengecup bibirnya untuk diajak menunaikan sunnah rasul, ia pun berusaha melayani dengan sepenuh hati. 

Siapa tahu, dengan begitu ganjalan di relung hatinya bisa cepat sirna.Tapi harapan tetap tinggal harapan. Bukannya hilang, hatinya malah semakin resah. Apalagi saat melihat Cecep yang mulai menjauhinya. Bukan salah bocah itu juga, Marni juga jarang mengajaknya bicara berdua seperti dulu. 

Sejak peristiwa di ruang tengah itu, mereka jadi seperti dua orang asing, hanya saat benar-benar perlulah mereka baru bertegur sapa. Di sisi lain, Marni juga seperti kehilangan sesuatu. Penis Cecep yang besar dan panjang terus menghantui pikirannya, juga jilatan dan hisapan bocah itu di atas gundukan payudaranya, dan yang terutama, kuluman Cecep di lubang vaginanya yang sanggup mengantar Marni meraih orgasmenya.

Semua itu ia rindukan, meski dalam hati terus berusaha ia bantah. Tapi tak bisa dipungkiri, pesona Cecep sudah menjerat nafsu birahinya. Kalau dia yang beriman saja merasa seperti ini, bagaimana dengan Cecep yang ingusan? Bocah itu pasti lebih menderita.Marni mulai meneteskan air mata. Pikirannya kacau, campur aduk antara ingin menolak dan minta ditiduri oleh Cecep. Ada rasa ingin merasakan, tapi juga ada rasa takut akan dosa. Tapi adzan subuh yang berkumandang lekas menyadarkannya, cepat ia menghapus air mata dan mengambil air wudhu. Ia harus tegar. Ini perbuatan maksiat. Sangat salah dan berdosa. Tidak boleh diteruskan. Kalau tidak, akan percuma lantunan tobatnya selama ini.Tapi benarkah seperti itu?

Semuanya berubah saat Marni menerima surat panggilan dari sekolah keesokan harinya. Cecep memberikannya dengan takut-takut, ”M-maaf, Mi.” gagap bocah kecil itu.

Tidak menjawab, Marni menerimanya dan membacanya di kamar. Siangnya, bersama Cecep, ia pergi ke sekolah.

”Nilai-nilainya turun, Bu. Sangat jelek sekali.” kata ibu kepala sekolah yang gemuk berjilbab.

Marni berusaha untuk tersenyum dan meminta maaf.

”Mungkin ada masalah di rumah?” tanya ibu kepala sekolah. 

”Dulu Cecep itu sangat pintar, salah satu yang terpandai di kelas. Tapi sepertinya sekarang lagi mengalami penurunan motivasi.”

”Emm, sepertinya tidak ada.” jawab Marni berbohong, padahal dia sangat tahu sekali apa yang dipikirkan anak angkatnya itu.

”Baiklah, saya harap ibu membantu kami untuk mengembalikan semangat belajarnya. Kalau begini terus, ia bisa tidak naik kelas.” pesan ibu kepala sekolah sebelum mengakhiri pertemuan itu.Marni pun mengucapkan terima kasih dan memohon diri. 

Dilihatnya Cecep yang meringkuk ketakutan di sampingnya. Dipeluknya bocah kecil itu dan berbisik, 

”Umi tunggu di rumah, belajar yang rajin ya…” Cecep mengangguk. 

Mereka pun berpisah, Marni kembali ke rumah, sementara Cecep meneruskan pelajarannya.Sorenya, saat pulang dari sekolah, Cecep mendapati ibunya menyambut di ruang tamu. Wanita itu memeluknya dengan erat.

”Maafkan Umi, Cecep. Gara-gara Umi, kamu jadi begini.” kata Marni lirih sambil berlinang air mata.Belum sempat Cecep berkata, Marni sudah menunduk dan melumat bibirnya dengan lembut. 

Dicium untuk pertama kali, tentu saja membuat Cecep jadi gelagapan, tapi ia cepat belajar. Saat bibir Marni terus mendekap dan menempel di bibirnya, ia pun mengimbangi dengan ganti melahap dan menghisapnya rakus. Dinikmatinya lidah sang bunda yang kini mulai menjelajah di mulutnya.

”Ehmm… Mi,” Cecep melenguh, sama sekali tak menyangka kalau akan diberi kejutan menyenangkan seperti ini.

”Sst…” Marni kembali membungkam bibirnya. 

”Diam, Sayang. Umi ingin menebus kesalahan kepadamu.” Pelan Marni menarik tangan Cecep dan ditempelkan ke arah gundukan payudaranya. 

”Kamu kangen ini kan?” tanyanya sambil tersenyum m Marni.

Dengan polos Cecep mengangguk dan mulai meremas-remas pelan. Jari-jarinya memijat untuk merasakan tekstur bulatan yang sangat menggairahkan itu. 

Seperti biasa, ia tidak bisa mencakup seluruhnya, payudara itu terlalu besar. Cecep bisa merasakan kalau Marni tidak memakai BH, tubuh sintalnya cuma dibalut daster hijau muda yang sangat tipis sehingga ia bisa menemukan putingnya dengan cepat.“Mi,” sambil memanggil nama sang bunda, Cecep meneruskan jelajahannya. Ia tarik tali daster Marni ke bawah hingga baju itu turun ke pinggang, menampakkan buah dada sang bunda yang sungguh besar dan menggiurkan. Cecep memandangnya sebentar sebelum lehernya maju untuk mulai menghisap dan menjilatinya, sambil tangannya terus meremas-remas pelan.Marni merebahkan diri di sofa, dibiarkannya Cecep menindih tubuhnya dari atas. 

Bibir bocah itu terus menelusur di sepanjang bukit payudaranya, mulai dari pangkal hingga ujungnya, semuanya dihisap tanpa ada yang terlewat. Beberapa kali Cecep membuat cupangan-cupangan yang membikin Marni merintih kegelian.Terutama di sekujur putingnya yang mulai kaku dan menegang, baik yang kiri maupun yang kanan. 

Cecep menghisap benda mungil kemerahan itu dengan begitu rakus, ia mencucupnya kuat sekali seolah seluruh payudara Marni ingin dilahap dan menelannya bulat-bulat. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.

“Ehmmm…” merintih keenakan, Marni membimbing salah satu tangan Cecep untuk turun menjamah kemaluannya yang sudah sangat basah. Ia sudah menanti hal ini dari tadi.

Sepulang sekolah, Marni berpikir dan merenung, Cecep jadi malas belajar karena perseteruan mereka tempo hari. Maka, untuk meningkatkan kembali semangat bocah kecil itu, inilah yang bisa ia lakukan. Marni akan memberikan tubuhnya!

Jangan dikira mudah melakukannya. Marni sudah menimbang dengan matang, memikirkan segala resikonya, dan tampaknya memang inilah jalan yang terbaik. Selain bagi Cecep, juga bagi dirinya sendiri. Karena tak bisa dipungkiri, Marni menginginkannya juga, hari-harinya juga berat akhir-akhir ini.

Pesona kemaluan Cecep yang besar dan panjang terus mengganggu tidur malamnya. Mas Andre yang selalu setia menemani di atas ranjang, mulai tidak bisa memuaskannya. Memang penisnya juga besar dan panjang, tapi entahlah, dengan Cecep ia seperti mendapatkan sensasi tersendiri. Sensasi yang membuat gairah dan birahinya berkobar kencang. 

Sama seperti sekarang.Bergetar semua rasa tubuh Marni begitu Cecep mulai memainkan jari di lubang vaginanya. bocah itu menggesek-gesek kelentitnya pelan sebelum akhirnya menusukkan jari ke dalam lubangnya yang sempit dan gelap. 

”Ough,” Marni merintih nikmat. 

Di atas, bibir Cecep terus bergantian menjilati puting kiri dan kanannya sambil sesekali menghisap dan menggigitnya rakus.Marni mendorong kepala bocah kecil itu, meminta Cecep untuk beranjak ke bawah. 

Cecep yang mengerti apa keinginan sang bunda, segera menurunkan ciumannya. Ia jilati sebentar perut Marni yang masih langsing dan kencang sebelum mulutnya parkir di kewanitaan perempuan yang sudah membiayai hidupnya itu.

”Jilat, Cecep!” Marni meminta sambil membuka kakinya lebar-lebar, memamerkan kemaluannya yang sudah becek memerah pada Cecep.

Si bocah menelan ludah, memandangi sebentar lubang indah yang terakhir kali dilihatnya sebulan yang lalu itu. Perlahan mulutnya turun saat Marni menarik kepalanya. Cecep menjulurkan lidah dan mulai menciumnya. Ia lumat bibir tipis yang tumbuh berlipat-lipat di tengah permukaannya.Bulu kemaluan Marni yang tercukur rapi juga diciumnya dengan senang hati. 

Marni merasakan Cecep membuka bibir kemaluannya dengan dua jari. Dan saat terkuak lebar, kembali lorongnya dibuat mainan oleh bocah kecil itu.

Lidah Cecep bergerak liar, juga cepat dan sangat dalam. Namun yang membuat Marni tak tahan adalah saat lidah bocah itu masuk diantara kedua bibir kemaluannya sambil menghisap kuat-kuat kelentitnya. 

Lama tidak bertemu, rupanya Cecep jadi tambah lihai sekarang. Diam-diam Marni bersyukur dalam hati, rupanya ia tidak salah membuat keputusan. Memang, ia tahu ini dosa -salah satu dosa besar malah- tapi kalau rasanya senikmat ini, ia sama sekali tidak menyesal telah melakukannya.

Cecep terus memainkan kemaluan Marni. Mulutnya menghisap begitu rakus dan kencang, hingga dalam beberapa menit, membuat sang bunda jadi benar-benar tak tahan. 

”Auw… arghh!” Mengejang keenakan, Marni pun berteriak sekuat tenaga sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. 

Kelentitnya yang sedang dijepit oleh Cecep, berkedut kencang saat cairannya menyembur deras membasahi lantai ruang tamu.

”Hah, hah,” terengah-engah, Marni meremas pelan rambut Cecep yang duduk berjongkok di lantai.

”Enak, Mi?” tanya bocah kecil itu dengan polos, matanya menatap sang bunda sebelum beralih memandangi selangkangan Marni yang masih mengucurkan sisa-sisa cairan orgasmenya.

Marni mengangguk, ”Nikmat banget, Sayang.” bisiknya sambil berusaha untuk bangkit.

”Mau kemana, Mi?” tanya Cecep cepat, takut tidak mendapatkan jatahnya.

”Kita pindah ke kamar, disini terlalu berbahaya, nanti kepergok sama tetangga.” sahut Marni.

Ditariknya tangan sang putra untuk masuk ke dalam rumah. Beriringan mereka menuju kamar.

”Kamarmu,” kata Marni saat melihat Cecep ingin berbelok ke kiri. 

Cecep segera memutar langkahnya, kamar mereka memang berseberangan.

Di dalam, tanpa menunggu lama, Cecep segera menelanjangi diri. Begitu juga dengan Marni. Dengan tubuh sama-sama telanjang, mereka naik ke atas tempat tidur.

”Kamu pengen nenen?” tanya Marni sambil mendekap kepala Cecep dan lekas ditaruhnya ke atas gundukan payudaranya.

Tanpa menjawab, Cecep segera menghisap dan menciumi dua benda bulat padat itu. Dihisapnya puting Marni dengan begitu rakus sambil tangannya bergerak meremas-remas pelan. Di bawah, penisnya yang sudah ngaceng berat terasa menyundul-nyundul lubang kelamin Marni.

”Cecep, ayo masukkan!” pinta perempuan cantik itu. 

Ia membuka pahanya lebar-lebar sehingga terasa ujung penis Cecep mulai memasuki lubangnya.

”Gimana, Mi, didorong gini?” tanya Cecep polos sambil berusaha menusukkan penisnya.

”Yah, begitu… oughhh!” Marni melenguh, penis Cecep terasa membentur keras, tapi tidak mau masuk. Dengan pengalamannya, Marni bisa mengetahui penyebabnya.

Maka dengan cepat ia bangkit berdiri dan meraih penis Cecep, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.

“Ahh, Mi!” Cecep menjerit, sama sekali tak menyangka kalau sang bunda akan berbuat seperti itu. Dan asyiknya lagi, rasanya ternyata begitu nikmat, lebih nikmat daripada dikocok pake tangan. Cecep mulai mengerang-erang dibuatnya, tubuhnya kelojotan, dan saat Marni menghisap semakin kuat, ia pun tak tahan lagi. Penisnya meledak menumpahkan segala isinya yang tertahan selama ini. Begitu banyak dan kental sekali.

”Ahh,” Marni yang sama sekali tidak menyangka kalau Cecep akan keluar secepat itu, jadi sangat kaget. Beberapa sperma si bocah sempat tertelan di mulutnya, sisanya yang sempat ia tampung, lekas ia ludahkan ke lantai.

“M-maaf, Mi.” kata Cecep dengan muka memerah menahan nikmat, lelehan sperma tampak masih menetes dari ujung penisnya yang mengental.

Marni tersenyum penuh pengertian, “Tidak apa-apa. Bukan salahmu, sebulan tidak dikeluarkan pasti bikin kamu nggak tahan.

”Penuh kelegaan, Cecep menyambut sang bunda yang kini berbaring di sebelahnya.Mereka saling berpelukan dan berciuman. Tapi dasar nafsu remaja, begitu payudara Marni yang besar menghimpit perutnya, sementara paha mereka yang terbuka saling bergesekan, dengan cepat penis Cecep mengencang kembali.

“Eh, udah tegang lagi tuh.” kata Marni gembira sambil menunjuk penis Cecep yang perlahan menggeliat bangun.

“Iya, Mi.” Cecep ikut tersenyum.


Marni mengocoknya sebentar agar benda itu makin cepat kaku dan menegang. Saat sudah kembali ke ukuran maksimal, ia lekas mempersiapkan diri. Rasanya sudah tidak sabar lubang vaginanya yang gatal dimasuki oleh kemaluan muda itu. Marni memejamkan mata saat Cecep mulai mendekap sambil terus menciumi bibirnya, ia merasakan bibir kemaluannya mulai tersentuh ujung penis si bocah kecil.

”Tunggu dulu,” Marni menjulurkan tangan, sebentar ia usap-usapkan ujung penis Cecep ke bibir kemaluannya agar sama-sama basah, barulah setelah itu ia berbisik,

”Sudah, Cecep, masukkan sekarang!” Marni memberi jalan.

Cecep mulai mendorong. Pelan Marni mulai merasakan bibir kemaluannya terdesak menyamping. Sungguh luar biasa benda itu. Ohh, Marni benar-benar merasakan kemaluannya nikmat dan penuh sesak. Cecep terus mendorong, sementara Marni menahan nafas, menunggu pertautan alat kelamin mereka tuntas dan selesai sepenuhnya.

”Ahh,” Marni mendesah tertahan saat penis Cecep terus meluncur masuk, membelah bibir kemaluannya hingga menjadi dua, memenuhi lorongnya yang sempit hingga ke relungnya yang terdalam, sampai akhirnya mentok di mulut rahimnya yang memanas.

Mereka terdiam untuk sejenak, saling menikmati rangsangan kemaluan mereka yang kini sudah bertaut sempurna, begitu erat dan intim. Rasanya sungguh luar biasa. Cecep bergidik sebentar saat merasakan Marni yang mengedutkan-ngedutkan dinding rahimnya, memijit batang penisnya dengan remasan pelan. Cecep membalas dengan kembali mencium bibir dan payudara sang bunda, sambil tangannya tak henti-henti meremas-remas bulatannya yang padat menggoda.

Beberapa detik berlalu. Saat Marni sudah merasa cukup, ia pun meminta Cecep untuk mulai menggerakkan pinggulnya.

”Pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru. Kita nikmati saat-saat ini. Abi-mu masih lama pulangnya, dia lembur malam ini.” kata Marni.Mengangguk mengerti, Cecep pun mulai memompa pinggulnya. 

Gerakannya begitu halus dan pelan, meski terlihat agak sedikit kaku. Maklum, masih pengalaman pertama. Tapi itu saja sudah sanggup membuat Cecep merintih keenakan, ia benar-benar cepat terbawa ke puncak kenikmatan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Nafasnya sudah memburu, terengah-engah. Sementara tubuhnya mulai bergetar pelan.Marni yang melihatnya jadi panik.

”Tahan dulu, Cecep. Tahan sebentar!” bisiknya, ia tidak mau permainan ini berhenti begitu cepat. Ia baru mulai merasa nikmat.Tapi apa mau dikata, jepitan kemaluan Marni terlalu nikmat bagi seorang perjaka seperti Cecep. Diusahakan seperti apapun, bocah itu sudah tak mampu lagi. Maka hanya dalam waktu singkat, Cecep pun menjerit dan kembali menumpahkan spermanya. Kali ini di dalam kemaluan Marni. Cairannya yang kental berhamburan saat Cecep ambruk menindih tubuh bugil sang bunda dengan nafas ngos-ngosan.

”Ah, Cecep!” meski terlihat kecewa, namun Marni berusaha untuk memakluminya. Ia belai punggung Cecep dengan lembut. Penis bocah itu yang masih menancap di lorong vaginanya, masih terasa berkedut-kedut, menguras segala isinya. Marni merasakan liangnya jadi begitu basah dan penuh.Mereka terus berpelukan untuk beberapa saat hingga tiba-tiba Marni menjerit kaget, ”Ah, Cecep!” tubuh montoknya sedikit terlonjak saat merasakan penis Cecep yang tiba-tiba saja kaku dan menegang kembali.

”Cepet banget!” pujinya gembira. 

Diciumnya bibir bocah itu sebagai hadiah.Cecep cuma tersenyum dan kembali memperbaiki posisi. Ia sudah siap untuk beraksi. Sambil melumat bibir dan leher Marni, ia mulai menggerakkan pinggulnya.Remasan tangannya di payudara sang bunda juga kembali gencar, secepat tusukannya yang kini sudah mulai lancar dan tahan lama.

”Ahhh… terus, Cecep. Yah, begitu!” Marni yang menerimanya, merintih dan menggeliat-geliat tak terkendali.Tubuh montoknya menggelepar hebat seiring goyangan Cecep yang semakin kuat. Dengan tusukannya yang tajam, bocah itu membuat vagina Marni menegang dan berdenyut pelan, benar-benar puncak kenikmatan yang belum pernah ia alami selama enam tahun pernikahannya dengan mas Andre.

Ohh, sungguh luar biasa. Marni jadi tak ingat apa-apa lagi selain kepuasan dan kenikmatan. Dosa dan neraka sudah lama hilang dari pikirannya. Hati dan kesadarannya sudah tertutup oleh nafsu birahi.

“Cecep, ooh… oohh… terus… arghhh…” Marni sendiri terkejut oleh teriakannya yang sangat kuat. Pelan tubuhnya bergetar saat cairan kenikmatannya menyembur keluar.

Cecep yang juga kesetanan terus memompakan kemaluannya berulang kali, dan tak lama kemudian ikut menggelepar. Wajahnya yang tampan menengadah, sementara kedua tangannya mencengkeram dan menekan payudara Marni kuat-kuat. Di bawah, spermanya yang kental kembali meledak di dalam vagina sang bunda, memancar berulang kali, hingga membuat rahim Marni jadi begitu basah dan hangat.

”Oh,” Marni melenguh merasakan banyak sekali cairan kental yang memenuhi liang vaginanya.

Setelah selesai, Cecep memiringkan tubuh sehingga tautan alat kelamin mereka tertarik dan terlepas dengan sendirinya. Tangannya kembali meremas lembut payudara Marni sambil bibirnya menciumi wajah wanita yang sangat dikasihinya ini. Marni senang dengan perlakuan Cecep terhadap dirinya.

“Cecep, kamu sungguh luar biasa.” puji Marni kepada putra angkatnya.

”Cepet banget tegangnya, padahal barusan keluar.”

Cecep tersenyum, ”Trims, Umi. 

Cecep senang bisa membuat Umi bahagia.”

”Tapi kamu juga nikmat kan?” goda Marni.

”Tentu saja, Mi.” Cecep mengangguk.

“Mau lagi?” tawar Marni.

”Umi nggak capek?” Cecep bertanya balik.

”Seharusnya umi yang tanya begitu,” sahut Marni, dan mereka tertawa berbarengan.Sejak saat itu, hubungan mereka pun berubah. 

Bukan lagi seorang ibu dan anak, tetapi berganti menjadi sepasang kekasih yang selalu berusaha untuk memuaskan nafsu masing-masing. Kapanpun dan dimanapun. Prestasi Cecep kembali meningkat, bahkan lebih dari sebelumnya. Sementara Marni, mendapat hikmah yang paling besar. Ia kini hamil, sudah jalan 2 minggu. Sudah jelas itu anak siapa, tapi sepertinya mas Andre tidak curiga.

Malah laki-laki itu kelihatan sangat senang dan gembira, sama sekali tidak curiga saat Marni kelepasan ngomong, ”Selamat, Fiq, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ayah,”