Ngewe Dengan Kaka Iparku

 Mendapatkan seorang pria yang menjadi impian semua wanita di seluruh kampung ku. aku menjadi istri seorang pejabat di kota kaya raya. bayangkan saja, suamiku memiliki puluhan hektar tanah di kampungku. sebelum ruko ruko di kontrak kan. tidak hanya di tempat kampungku tetapi ada juga di daerah daerah lainnya sudah terbayang di benak ku, setiap hari aku tinggal di rumah besar dan mewah (setidaknya untuk ukuran di kampungku), naik mobil bagus keluaran terbaru.

Hariku sebagai istrinya memang membahagiakan dan membanggakan. Teman Teman gadisku banyak yang iri dengan kehidupanku yang serba enak. Meski aku sendiri tidak yakin dengan kebahagian yang kurasakan saat itu. Hati kecilku sering dipenuhi oleh kekhawatiran yang sewaktu waktu akan membuat hidupku jatuh merana. Aku sebenarnya bukanlah satu satunya wanita pendamping suamiku. Ia sudah beristri dengan beberapa anak. Mereka tinggal jauh di kota besar dan sama sekali tak pernah tahu akan keberadaanku sebagai madunya.

Ketika menikah pun aku sudah tahu akan statusnya ini. Aku, entah terpaksa atau memang mencintainya, memutuskan untuk menikah dengannya. Demikian pula dengan orang tuaku. Mereka malah sangat mengharapkan aku menjadi istrinya. Mungkin mereka mengharapkan kehidupan kami akan berubah, derajat kami meningkat dan dipandang oleh semua orang kampung bila aku sudah menjadi istrinya. Mungkin memang sudah nasibku untuk menjadi istri kedua, lagi pula hidupku cukup bahagia dengan statusku ini.

Semua itu kurasakan setahun yang lalu. Begitu menginjak tahun kedua, barulah aku merasakan perubahan. Suamiku yang dulunya lebih sering berada di sisiku, kini mulai jarang muncul di rumah. Pertama seminggu sekali ia mengunjungiku, kemudian sebulan dan terakhir aku sudah tidak menghitung lagi entah berapa bulan sekali dia datang kepadaku untuk melepas rindu.

Aku tak berani menghubunginya. Aku takut semua itu malah akan membuat hidupku lebih merana. Aku tak bisa membayangkan kalau istri pertamanya tahu keberadaanku. Tentunya akan marah besar dan mengajukan ke pihak berwajib. Biarlah aku tanggung semua derita ini. Aku tak ingin orang tuaku terbawa sengsara oleh masalah kami. Mereka sudah hidup bahagia, memiliki rumah yang lebih besar, sawah dan ternak ternak piaraan pemberian suamiku.

Hari yang kulalui semakin tidak menggairahkan. Aku berusaha untuk menyibukan diri dengan berbagai kerjaan agar tak merasa bosan ditinggal suami dalam waktu lama. Tetapi semua itu tidak membuat perasaanku tenang. Justru menjadi gelisah, terutama di malam hari. Aku selalu termenung sendiri di ranjang sampai larut malam menunggu kantuk yang tak kunjung datang. Kurasakan sprei tempat tidurku begitu dingin, tidak seperti di Hari awal pernikahan kami dulu. Sprei tempat tidurku tak pernah rapi, selalu acak acakan dan hangat bekas pergulatan tubuh kami yang selalu berkeringat. Disaat Saat seperti inilah aku selalu merasakan kesedihan yang mendalam, gelisah mendambakan kehangatan seperti dulu. Rindu akan ciuman hangat suamiku yang sepertinya tak pernah padam meski usianya sudah mulai menua.

Kalau sudah terbayang semua itu, aku menjadi semakin gelisah. Gelisah oleh perasaanku yang menggebu gebu. Bahkan akhir akhir ini semakin membuat kepalaku pusing. Membuatku uring uringan. Marah oleh sesuatu yang aku sendiri tak mengerti. Kegelisahan ini sering terbawa dalam impianku. Di luar sadarku, aku sering membayangkan ciuman hangat suamiku. Bagaimana panasnya kecupan bibir suamiku di sekujur tubuhku. Aku menggelinjang setiap kali terkena sentuhan bibirnya, bergetar merasakan sentuhan lembut jemari tangannya di bagian tertentu tubuhku. Aku tak mampu menahan diri. Akhirnya aku mencumbu diriku sendiri. Tanganku menggerayang ke seluruh tubuhku sambil membayangkan semua itu milik suamiku. Pinggulku berputar liar mengimbangi gerakan jemari di sekitar pangkal pahaku. Pantatku terangkat tinggi tinggi menyambut desakan benda imajinasiku ke dalam diriku. Aku melenguh dan merintih kenikmatan hingga akhirnya terkulai lemas di ranjang kembali ke alam sadar bahwa semua itu merupakan kenikmatan semu. Air mataku jatuh bercucuran, meratapi nasibku yang tidak beruntung.

Pelarianku itu menjadi kebiasaan setiap menjelang tidur. Menjadi semacam keharusan. Aku ketagihan. Sulit menghilangkan kebiasaan yang sudah menjadi kebutuhan batinku. Aku tak tahu sampai kapan semua ini akan berakhir. Aku sudah bosan. Kecewa, marah, sedih dan entah apalagi yang ada dalam perasaanku saat ini. Kepada siapa aku harus melampiaskan semua ini? Suamiku? Entah kapan ia datang lagi. Kepada orang tua? Apa yang bisa mereka perbuat? Oohh.. aku hanya bisa menangisi penderitaan ini.

Aku memang gadis kampung yang tak tahu keadaan. Aku tak pernah sadar bahwa keadaanku sehari hari menarik perhatian seseorang. Aku baru tahu kemudian bahwa ternyata Kang Hendra, suami kakakku, mengikuti perkembangan sehari hari. Mereka memang tinggal di rumahku. Aku sengaja mengajak mereka tinggal bersama, karena rumahku cukup besar untuk menampung mereka bersama anak tunggalnya yang masih balita. Sekalian menemaniku yang hidup seorang diri.

Kasihan Neng Anna, temenin aja. Biar rumah kalian yang di sana dikontrakan saja demikian saran orang tuaku waktu itu.

Aku pun tak keberatan. Akhirnya mereka tinggal bersamaku. Semuanya berjalan normal saja. Tak ada permasalahan di antara kami semua, sampai suatu malam ketika aku sedang melakukan hal rutin terperanjat setengah mati saat kusadari ternyata aku tidak sedang bermimpi bercumbu dengan suamiku. Sebelum sadar, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa sekali. Terasa lain dengan khayalanku selama ini. Apalagi ketika puting payudaraku dijilat dan dihisap hisap dengan penuh gairah. Aku sampai mengerang saking nikmatnya. Rangsangan itu semakin bertambah hebat menguasai diriku. Kecupan itu semakin menggila, bergerak perlahan menelusuri perutku terus ke bawah menuju lembah yang ditumbuhi semak semak lebat di sekitar selangkanganku. Aku hampir berteriak saking menikmatinya. Ini merupakan sesuatu yang baru, yang tak pernah dilakukan oleh suamiku. Bahkan dalam mimpipun, aku tak pernah membayangkan sampai sejauh itu. Di situlah aku baru tersadar. Terbangun dari mimpiku yang indah. Kubuka mataku dan melirik ke bawah tubuhku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mataku yang masih belum terbiasa dengan keadaan gelap ruangan kamar, melihat sesuatu bergerak gerak di bawah sana, di antara kedua pahaku yang terbuka lebar.

Aduh kenapa sih ini.. gumamku setengah sadar sambil menjulurkan tanganku ke bawah sana.

Tanganku memegang sesuatu seperti rambut. Kuraba Raba dan baru kutahu bahwa itu adalah kepala seseorang. Aku kaget. Dengan refleks aku bangun dan merapat ke ujung ranjang sambil mencoba melihat apa terjadi. Setelah mataku terbiasa dengan kegelapan, kulihat di sana ternyata seseorang tengah merayap ke atas ranjang. Aku semakin kaget begitu kutahu orang itu adalah Kang Hendra, kakak iparku!

Saking kagetnya, aku berteriak sekuat tenaga. Tetapi aku tak mendengar suara teriakan itu. Kerongkonganku terasa tersekat. Hanya mulutku saja yang terbuka, menganga lebar lebar. Kedua mataku melotot seakan tak percaya apa yang kulihat di hadapanku adalah Kang Hendra yang bertelanjang dengan hanya memakai cawat.

Kang Hendra menghampiri sambil mengisyaratkan agar jangan berteriak. Tubuhku semakin mepet ke ujung dinding. Takut, marah dan lain sebagainya bercampur aduk dalam dihatiku melihat kehadirannya di kamarku dalam keadaan setengah telanjang seperti itu.

Kang! Lagi apa..? hanya itu yang keluar dari mulutku sementara tanganku sibuk membenahi pakaianku yang sudah tak karuan.

Aku baru sadar ternyata seluruh kancing baju tidurku semuanya terlepas dan bagian bawahnya sudah terangkat sampai ke pinggang. Untungnya saja celana dalamku masih terpakai rapi, hanya dadaku saja yang telanjang. Aku buru buru menutupi ketelanjangan dadaku karena kulihat mata Kang Hendra yang liar tampaknya tak pernah berkedip menatap ke arah sana.

Saking takutnya aku tak bisa ngomong apa apa dan hanya melongo melihat Kang Hendra semakin mendekat. Ia lalu duduk di bibir ranjang sambil meraih tanganku dan membisikan kata kata rayuan bahwa aku ini cantik namun kurang beruntung dalam perkawinannya.

Dadaku terasa mau meledak mendengar ucapannya. Apa hak dia untuk mengatakan semua itu? Aku tak butuh dengan belas kasihannya. Kalau saja aku tidak ingat akan istrinya, yang merupakan kakakku sendiri. Sudah kutampar mulut lancangnya itu. Apalagi ia sudah berani berani masuk ke dalam kamarku malam malam begini.

Teringat itu aku langsung bertanya, Kemana Teh Meimei?.

Ssst, tenang ia lagi di rumah yang di sana kata Kang Hendra dengan tenang seolah tidak bersalah.

Kurang ajar, untukku dalam hati. Pantesan berani masuk ke kamar. Tapi kok Teh Meimei nggak ngomong ngomong sebelumnya.

Kok dia nggak bilang bilang mau pulang Tanyaku heran.

Tadinya mau ngomong. Tapi Kang Hendra bilang nggak usah kasihan Neng Anna sudah tidur, biar nanti Akang saja yang bilangin jelasnya.

Dasar laki laki kurang ajar. Istrinya dibohongi biar dia bebas masuk kamarku. Aku semakin marah. Pertama ia sudah kurang ajar masuk kamarku, kedua ia berani mengkhianati istrinya yang juga kakak kandungku sendiri!

Akang sadar saya ini adikmu juga. Akang mau ngapain kemari.. Cuma.. ngh.. pake gituan aja kataku seraya melirik Kang Hendra sekilas. Aku tak berani lama lama karena takut melihat tatapannya.

Neng.. panggilnya dengan suara parau.

Akang kasihan lihat Neng Anna. Akhir Akhir ini kelihatannya semakin menderita saja ucapnya kemudian.

Akang tahu dari mana saya menderita surgaku dengan mata mendelik.

Eh.. jangan marah ya. Itu.. nggh.. Akang.. anu.. katanya dengan ragu ragu.

Ada apa kang? tanyaku semakin penasaran sambil menatap wajahnya lekat lekat.

Anu.. eh, Akang lihat kamu selalu kesepian. Lama ditinggal suami, jadi Akang ingin Bantu kamu katanya tanpa malu malu.

Maksud Akang?

Ini.. Akang, maaf neng.., pernah lihat Neng Anna kalau lagi tidur suka.. ungkapnya setengah setengah.

Jadi Akang suka ngintip saya? tanyaku semakin sewot.

Kulihat ia mengangguk lemah untuk kemudian menatapku dengan penuh gairah.

Akang ingin menolong kamu bisiknya hampir tak terdengar.

Kepalaku serasa dihantam petir mendengar pengakuan dan keberaniannya mengungkapkan isi hatinya. Sungguh kurang ajar lelaki ini. Berbicara seperti itu tanpa merasa bersalah. Dadaku terasa sesak oleh amarah yang tak tersalurkan. Aku terdiam seribu bahasa, badanku terasa lemas tak bertenaga menghadapi kenyataan ini. Aku malu sekali pelampiasanku selama ini diketahui orang lain. Aku tak tahu sampai sejauh mana Kang Hendra melihat rahasia di tubuhku. Aku tak ingin membayangkannya.

Kang Hendra tidak menyerah begitu saja melihat kemarahanku. Kebingunganku telah membuat diriku kurang waspada. Aku tak tahu sejak kapan Kang Hendra merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku terjebak di ujung ranjang. Tak ada jalan bagiku untuk melarikan diri. Semuanya tertutup oleh tubuhnya yang jauh lebih besar dariku. Aku menyembunyikan kepalaku ketika ia merangkul tubuhku. Tercium aroma khas lelaki tersebar dari tubuh Kang Hendra. Aku rasakan otot otot tubuhnya yang keras menempel di tubuhku. Kedua tangannya yang kekar melingkar sehingga tubuhku yang jauh lebih mungil tertutup sudah olehnya. Aku berontak sambil mendorong dadanya. Kang Hendra malah mempererat pelukannya. Aku terengah engah dibuatnya. Tenagaku sama sekali tak berarti dibanding kekuatannya. Nampaknya usaha sia sia belaka melawan tenaga lelaki yang sudah kesurupan ini.

Kang inget.. saya kan adik Akang juga. Lepasin saya kang. Saya janji nggak akan bilang sama teteh atau siapa aja.. pintaku memelas saking putus asanya.

Hiba Aku sama sekali tak dihiraukan. Kang Hendra memang sudah kerasukan. Wajahku diciumi dengan penuh nafsu bahkan tangannya sudah mulai menarik narik pakaian tidurku. Aku berusaha menghindar dari ciuman itu sambil menahan pakaianku agar tak terbuka. Kami berkutat saling bertahan. Kudorong tubuh Kang Hendra sekuat tenaga sambil terus terusan mengingatkan dia agar menghentikan perbuatannya. Lelaki yang sudah kerasukan ini mana bisa dicegah, justru sebaliknya ia semakin garang. Pakaian tidurku yang terbuat dari kain tipis tak mampu menahan kekuatan tenaganya. Hanya dengan sekali hentakan, terdengar suara pakaian dirobek. Aku terpekik kaget. Pakaianku robek hingga ke pinggang dan memperlihatkan dadaku yang sudah tak tertutup apa apa lagi.

Kulihat mata Kang Hendra melotot menyaksikan buah dadaku yang montok dan kenyal, menggelantung indah dan menggairahkan. Kedua tanganku dengan cepat menutupi ketelanjanganku dari tatapan liar mata lelaki itu. Upayaku itu membuat Kang Hendra semakin beringas. Ia marah dan menarik kedua kakiku hingga aku terlentang di ranjang. Tubuhnya yang besar dan kekar itu langsung menindihku. Nafasku sampai tersengal menahan beban di atas tubuhku.

Kang jangan! cegah ku ketika ia membuka tangannya dari atas dadaku.

Kedua tanganku dicekal dan dihimpit masing masing di sisi kepalaku. Dadaku jadi terbuka lebar mempertontonkan keindahan buah dadaku yang menjulang tegar ke atas. Kepalaku meronta ronta begitu kurasakan wajahnya mendekat ke atas dadaku. Kupejamkan mataku. Aku tak ingin menyaksikan bagian tubuhku yang tak pernah tersentuh orang lain kecuali suamiku itu, dirambah dengan kasar oleh Kang Hendra. Aku tak rela ia menjamahnya. Kucoba meronta di bawah himpitan tubuhnya. Sia Sia saja. Air mataku langsung menetes di pipi. Aku tak sanggup menahan tangisku atas perbuatan tak senonoh ini.

Kulihat wajah Kang Hendra menyeringai senang melihatku tak meronta lagi. Ia terus merayuku sambil berkata bahwa dirinya justru menolong diriku. Ia, katanya, akan berusaha memberikan apa yang selama ini kudambakan.

Kamu tenang aja dan nikmati. Akang janji akan pelan pelan. Nggak kasar asal kamu jangan berontak.. katanya kemudian.

Aku tak ingin mendengarkan umbaran bualan dan rayuannya. Aku tak mau Kang Hendra mengucapkan kata kata seperti itu, karena aku tak rela diperlakukan seperti ini. Aku benar benar tak berdaya di bawah kekuasaannya. Aku hanya bisa terkulai pasrah dan terpaksa membiarkan Kang Hendra menciumi wajahku sesuka hati. Bibirnya dengan leluasa mengulum bibirku, menjilati seluruh wajahku. Aku hanya diam tak bergerak dengan mata terpejam.

Hatiku menjerit merasakan ciumannya yang semakin liar, menggerayang ke leher dan terus turun ke atas dadaku. Aku menahan nafas manakala bibirnya mulai menciumi kulit di seputar buah dadaku. Lidahnya menari nari dengan bebas menelusuri kemulusan kulit buah dadaku. Kadang Kadang lidahnya menyentil sekali sekali ke atas putingku.

Nggak rela.. nggak rela..! jeritku dalam hati.

Kudengar nafasnya semakin menderu kencang. Terdengar suara kecipak mulutnya yang dengan rakus melumat seluruh payudaraku yang montok. Seolah ingin merasakan setiap inci kekenyalannya. Aku seakan terpana oleh cumbuannya. Hatiku bertanya tanya. Apa yang sedang terjadi pada diriku. Kemana tenagaku? Kenapa aku tidak berontak? Kenapa membiarkan Kang Hendra berbuat semaunya padaku? Aku mendengus frustasi oleh perasaanku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri yang begitu mudah terpedaya oleh kelihaiannya bercumbu. Terjadi konflik batin dalam diriku. Di satu sisi, aku tak ingin diriku menjadi sasaran empuk nafsu lelaki ini. Aku adalah seorang wanita bersuami. Terpandang. Memiliki kehormatan. Aku bukanlah wanita murahan yang dapat sesuka hati mencari kepuasan. Tetapi disisi lain, aku merasakan suatu desakan dalam diriku sendiri. Suatu keinginan yang begitu kuat, meletup letup tak terkendali. Kian lama kian kuat desahannya. Tubuhku sampai berguncang hebat merasakan perang batin ini. Aku tak tahu mana yang lebih kuat. Bukankah perasaan ini yang kuimpikan setiap malam?

Tanpa sadar dari bibirku meluncur desahan dan rintihan lembut. Meski sangat perlahan, Kang Hendra dapat mendengarnya dan merasakan perubahan yang terjadi dari tubuhku. Ia tersenyum penuh kemenangan. Ia nampak begitu yakin bahwa aku akan menyerah kepadanya. Bahkan kedua cekalan tangannya pada tanganku pun dilepaskan dan berpindah ke atas buah dadaku untuk meremasnya. Ia sangat yakin aku tak akan berontak meski tanganku sudah terbebas dari cekalannya.

Memang tak dapat dipungkiri keyakinan Kang Hendra ini. Aku sendiri tidak memanfaatkan terbebasnya tanganku untuk mendorong tubuhnya di atasku. Aku malah menaruhnya di atas kepala Kang Hendra yang bergerak bebas di atas dadaku. Tanganku malah meremas rambutnya, menekan kepalanya ke atas dadaku.

Kang udah.. jangaann..! rintihku masih memintanya berhenti.Oh sungguh munafik sekali diriku! Mulutku terus terusan mencegah namun kenyataannya aka malah mendorongnya untuk berbuat lebih jauh lagi. Akal sehatku sudah hilang entah kemana. Aku sudah tak ingat akan suamiku, kakakku, atau diriku sendiri. Yang kuingat hanyalah rangsangan dahsyat akibat jilatan dan kuluman bibir Kang Hendra di seputar putingku. Tanganku menggerayang di atas punggungnya. Merabaraba kekerasan otototot pejalnya. Aku semakin terbang melayang, membayangkan keperkasaannya. Inikah jawaban atas semua mimpi mimpiku selama ini? Haruskah semua ini kulakukan? Meski dengan kakak iparku sendiri? Apakah aku harus mengorbankan semuanya? Pengkhianatan pada suamiku? Kakakku? Hanya untuk memuaskan keinginan ku seorang? Aakkhh.. tidak.. tidak! jeritku mengingat semua ini.

Cerita Dewasa Namun apa mau dikata, cumbuan Kang Hendra yang begitu lihai sepertinya tahu persis keinginanku. Kebutuhanku yang sudah cukup lama terkekang. Letupan gairah wanita kesepian yang tak pernah terlampiaskan. Peperangan dalam batinku usai sudah dan aku lebih mengikuti naluri gairah birahiku.

Akang..! jeritku lirih tak sadar memanggil namanya saat puting susuku disedot kuat kuat.

Aku menggelinjang kegelian. Sungguh nikmat sekali hisapan itu. Luar biasa. Kurasakan selangkanganku mulai basah, meradang. Tubuhku menggeliat geliat bagai ular kepanasan mengimbangi permainan lidah dan mulut Kang Hendra di buah dadaku yang terasa semakin menggelembung keras.

Oohh Neng.. bagus sekali teteknya. Akang suka sekali.. mmpphh.. wuiihh.. montok banget komentar Kang Hendra.

Sebenarnya hatiku tak menerima ucapan ucapan kotor yang keluar dari mulut Kang Hendra. Sepertinya aku ini wanita murahan, yang biasa mengobral tubuhnya hanya demi kepuasan lelaki hidung belang. Tetapi perasaan itu akhirnya tertutup oleh kemahirannya dalam mencumbu diriku. Tubuhku sepertinya menyambut hangat setiap kecupan hangat bibirnya. Badanku melengkung dan dadaku dibusungkan untuk mengejar kecupan bibirnya. Nampaknya justru akulah yang menjadi agresif. Liar seperti kuda binal yang baru lepas kandang.

Mmpphh.. Neng Anna.. kalau saja Akang dari dulu tahu. Tentunya Neng nggak perlu lagi gelisah tiap malam sendirian. Akang pasti mau nemenin semalaman.. celoteh Kang Hendra seakan tak tahu betapa malunya diriku mendengar ucapan itu.

Aku sudah tak perduli lagi dengan celotehan tak senonohnya. Aku sudah memutuskan untuk menikmati apa yang sedang kunikmati saat ini. Kudorong kepala kang Hendra ke bawah menyusur perutku. Aku ingin merasakan seperti saat ku bermimpi tadi. Rupanya Kang Hendra mengerti keinginanku. Dengan nafsu menggebu gebu, ia mulai bergerak. Kedua tangannya menelusup ke bawah tubuhku, mencekal pinggangku. Mengangkat pinggulku sedikit kemudian tangannya ditarik ke bawah meraih tepian celana dalamku dan memelorotkannya hingga terlepas dari kedua kakiku. Aku mengikuti apa yang ia lakukan. Aku kini sudah terbebas. Pakaian tidurku entah sudah tercampak dimana. Tubuhku sudah telanjang bulat, tanpa sehelai benangpun yang menghalangi.

Kulirik Kang Hendra terbelalak memandangi ketelanjanganku. Ia seolah tak percaya dengan apa yang ada di hadapan matanya kini. Gairahku seakan mau meletup melihat tatapan penuh pesona mata Kang Hendra. Membuatku demikian tersanjung. Aku bangga dikarunia bentuk tubuh yang begitu indah. Kedua dadaku membusung penuh, keras dan kenyal. Perutku ramping dan rata. Pinggulku memiliki lekukan yang indah dan pantatku bulat penuh, menungging indah. Kedua kakiku panjang dan ramping. Mulai dari pahaku yang gempal dan bentuk betisku yang menggairahkan.

Mungkin kang Hendra tak pernah mengira akan keindahan tubuhku ini karena memang sehari hari aku selalu menggunakan pakaian yang tidak pernah menonjolkan lekukan tubuhku. Aku bisa membayangkan bagaimana terkagum kagum nya Kang Hendra melihatku dalam keadaan telanjang bulat.

Neng.. kamu cantik sekali. Sempurna.. oh indah sekali. Mmhh.. teteknya montok dan aakkhh.. lebat sekali.. puji Kang Hendra tak henti hentinya menatap selangkanganku yang dipenuhi bulu hitam lebat, kontras dgn warna kulit ku yg putih bersih.

Mataku melirik ke bawah melihat tonjolan keras di balik cawatnya. Uugghh.. kurasakan dadaku berdegup, selangkanganku berdenyut dan semakin membasah oleh gairah membayangkan batang keras di balik cawatnya. Gede sekali dan panjang! Lenguhku dalam hati sambil menahan rangsangan hebat.

Kaanngg.. ngghh.. jangan ngeliatin aja. Khan malu.. rengekku manja dengan gaya mulai bergenit genit.

Seakan baru tersadar dari keterpesonaannya, Kang Hendra lalu mulai beraksi.

Abisnya cantik sekali kamu sih, Neng katanya kemudian seraya melepaskan cawatnya hingga ia pun kini sama sama telanjang.

Kulihat batang kontolnya yang keras itu meloncat keluar seperti ada pernya begitu lepas dari kungkungan cawatnya. Mengacung tegang dengan gagahnya. Aku terbelalak melihatnya. Benar saja besar dan panjang. Kulihat otot ototnya melingkar di sekujur batang itu. Aku sudah tak sabar ingin merasakan kekerasannya dalam genggamanku. Terus terang baru kali ini aku melihat kontol selain milik suamiku. Dan apa yang dimiliki kang Hendra membuat punya suamiku seperti milik anak kecil saja. Lagi Lagi aku membanding bandingkan. Buruburu pikiran itu kubuang. Aku lebih suka menyambut kedatangan Kang Hendra menindih tubuhku lagi.

Kini aku langsung menyambut hangat ciumannya sambil merangkulnya dengan erat. Ciuman Kang Hendra benar benar menghanyutkan. Aku dibuatnya bergairah. Apalagi kurasakan gesekan kontol yang keras di atas perutku semakin membuat gairahku meledak ledak. Kang Hendra lalu kembali menciumi buah dadaku. Kali ini kusodorkan dengan sepenuh hati. Kurasakan hisapan dan remasannya dengan penuh kenikmatan. Tanganku mulai berani lebih nakal. Menggerayang ke sekujur tubuhnya, bergerak perlahan namun pasti ke arah batangnya. Hatiku berdesir kencang merasakan batang nan keras itu dalam genggamanku. Kutelusuri mulai dari ujung sampai pangkalnya. Jemariku menari nari lincah menelusuri urat urat yang melingkar di sekujur batangnya. Kukocok perlahan dari atas ke bawah dan sebaliknya. Terdengar Kang Hendra melenguh perlahan. Kuingin ia merasakan kenikmatan yang kuberikan. Ujung jariku menggelitik moncongnya yang sudah licin oleh cairannya. Lagilagi Kang Hendra melenguh. Kali ini lebih keras.

Tiba Tiba saja ia membalikkan tubuhnya. Kepalanya persis berada di atas selangkanganku sementara miliknya persis di atas wajahku. Kulihat batangnya bergelantungan, ujungnya menggesek gesek mulutku. Entah dari mana keberanianku muncul, mulutku langsung menangkap kontolnya. Kukulum pelan pelan. Sesungguhnya aku tak pernah melakukan hal ini kepada suamiku sebelumnya. Aku tak mengerti kenapa aku bisa berubah menjadi binal, tak ada bedanya dengan perempuan perempuan nakal di jalanan. Namun aku tak peduli. Aku ingin merasakan kebebasan yang sebenar benarnya. Kuingin semua naluriku melampiaskan fantasi fantasi liar yang ada dalam diriku. Kuingin menikmati semuanya.

Kang Hendra tak mau kalah. Lidahnya menjulur menelusuri garis memanjang bibir kemaluanku. Aku terkejut seperti terkena listrik. Tubuhku bergetar. Kurasakan darahku berdesir kemana mana. Lidah Kang Hendra bermain lincah. Menjilat, menusuk nusuk, menerobos rongga rahimku. Aku seperti melayang layang di atas awan. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa selama hidupku. Aku tak pernah merasakan dijilati seperti itu sebelumnya. Nikmatnya sungguh tak terkira. Pinggulku tak bisa diam, mengikuti kemana jilatan lidah Kang Hendra berada.

Tubuhku seperti dialiri listrik berkekuatan tinggi. Gemetar menahan desakan kuat dalam tubuhku. Rasanya aku tak tahan menerima kenikmatan ini. Perutku mengejang. Kakiku merapat, menjepit kepala Kang Hendra. Seluruh otot otot menegang. Jantungku terasa berhenti. Aku berkutat sekuat tenaga sampai akhirnya ku tak mampu lagi dan langsung melepaskannya diiringi jeritan lirih dan panjang. Tubuhku menghentak berkali kali mengikuti semburan cairan hangat dari dalam liang memekku. Aku terhempas di atas ranjang dengan tubuh lunglai tak bertenaga. Puncak kenikmatan yang kucapai kali ini sungguh luar biasa dan dahsyat. Aku merasa telah terbebas dari sesuatu yang sangat menyesakan dada selama ini.

Oohh.. Kaanngg.. ngghh.. enak sekali.. rintihku tak kuasa menahan diri.

Aku sendiri tak sadar dengan apa yang kuucapkan. Sungguh memalukan sekali pengakuan atas kenikmatan yang kurasakan saat itu. Aku tak ingin Kang Hendra menilai rendah diriku. Ku tak ingin ia tahu aku sangat menikmati cumbuannya. Kulihat Kang Hendra tersenyum di bawah sana. Ia merasa sudah mendapatkan kemenangan atas diriku. Ia bangga dengan kehebatannya bercinta hingga mampu membuatku orgasme lebih dulu. Aku tak bisa berbuat banyak, karena harus kuakui bahwa diriku sangat membutuhkannya saat ini. Membutuhkan apa yang sedang kugenggam dalam tanganku. Benda yang tentunya akan memberikan kenikmatan yang lebih dari yang kudapatkan barusan.

Tanpa sadar jariku meremas remas kembali batang kontolnya. Kukocok perlahan dan kumasukan ke dalam mulutku. Kukulum dan kujilat jilat. Kurasakan Kang Hendra meregang, merintih kenikmatan. Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Aku ingin ia merasakan kenikmatan pula. Kenikmatan yang akan membuatnya memohon mohon padaku. Kulumanku semakin panas. Lidahku melatalata liar di sekujur batangnya. Aku bertekad untuk mengeluarkan air maninya secepat mungkin.

Terdengar suara selamatan mulutku. Kang Hendra merintih rintih keenakan. Rasain, untukku dalam hati dan mulai tak sabar ingin melihat air maninya menyembur keluar. Di atas tubuhku, Kang Hendra menggerakan pinggulnya seolah sedang bersenggama, hanya saja saat itu kontolnya menancap dalam mulutku. Kuhisap, kusedot kuat kuat. Ia masih bertahan. Aku kembali berusaha tetapi nampaknya ia belum memperlihatkan tanda tanda. Aku sudah mulai kecapean. Mulutku terasa kaku. Sementara gairahku mulai bangkit kembali. Liang memekku sudah mulai mengembang dan basah kembali, sedangkan kontol Kang Hendra masih tegang dan gagah perkasa. Bahkan terasa lebih keras.

Udah Neng. Ganti posisi aja.. kata Kang Hendra kemudian seraya membalikkan tubuhnya dalam posisi umumnya bersetubuh.

Kang Hendra memang piawai dalam bercinta. Ia tidak langsung menancapkan kontolnya ke dalam memekku, tetapi digesek gesekan dulu di sekitar bibir kemaluanku. Ia sepertinya sengaja melakukan itu. Kadang Kadang ditekan seperti akan dimasukan, tetapi kemudian digerakkan kembali ke ujung atas bibir kemaluanku menyentuh kelentitku. Kepalanya digosok gosokan. Aku menjerit lirih saking keenakan. Ngilu, enak dan entah apa lagi rasanya.

Kaleng.. aduhh.. udah kang! Sshh.. mmpphh.. ayo kang.. masukin aja.. nggak tahan! pintaku menjerit jerit tanpa malu malu.

Aku sudah tak memikirkan lagi kehormatan diriku. Rasa gengsi atau apapun. Yang kuinginkan sekarang adalah ia segera mengisi kekosongan liang memekku dengan kontolnya yang besar dan panjang. Aku nyaris mencapai orgasme lagi hanya dengan membayangkan betapa nikmatnya kontol sebesar itu mengisi penuh liang memekku yang rapat.

Udah nggak tahan ya, Neng candanya sehingga membuatku blingsatan menahan nafsu. Kurang ajar sekali Kang Hendra ini. Ia tahu aku sudah dalam kendalinya jadi bisa mempermainkan perasaanku semau maunya.

Aku gemas sekali melihatnya menyeringai seperti itu. Di luar dugaannya, aku langsung menekan pantatnya dengan kedua tanganku sekuat tenaga. Kang Hendra sama sekali tak menyangka hal ini. Ia tak sempat menahannya. Maka tak ayal lagi batang kontolnya melesak ke dalam liang memekku. Aku segera membuka kedua kakiku lebar lebar, memberi jalan seleluasa mungkin bagi kontolnya. Aku berteriak kegirangan dalam hati, akhirnya kontol Kang Hendra berhasil masuk seluruhnya. Meski cukup menyesakkan dan membuat liang memekku terkuak lebar lebar, tetapi aku puas dan lega karena keinginanku tercapai sudah.

Kulihat wajah Kang Hendra terbelalak tak menyangka akan perbuatanku. Ia melirik ke bawah melihat seluruh kontolnya terbenam dalam liangku. Aku tersenyum menyaksikannya.

Ia balas tersenyum, Kamu nakal ya.. katanya kemudian.

Awas, entar Akang bikin kamu mati keenakan.

Mau dong.. jawabku dengan genit sambil memeluk tubuh kekarnya.

Kang Hendra mulai menggerakan pinggulnya. Pantatnya kulihat naik turun dengan teratur. Kadang Kadang digeol geolkan hingga ujung kontolnya menyentuh seluruh relung relung vaginaku. Aku turut mengimbanginya. Pinggulku berputar penuh irama. Bergerak patah patah, kemudian berputar lagi. Goyangan ini timbul begitu saja dalam benakku. Mungkin terlalu sering nonton penyanyi dangdut bergoyang di panggung. Tetapi efeknya sungguh luar biasa. Kang Hendra tak henti hentinya memuji goyanganku. Ia bilang belum pernah merasakan goyangan sehebat ini. Aku tambah bergairah. Pinggulku terus bergoyang tanpa henti sambil mengedutedutkan otot vaginaku sehingga Kang Hendra merasakan kontol seperti diemut emut.

Akkhh Newegg.. elena kkhh.., hebat.. uugghh.. erangnya berulang ulang.

Kang Hendra mempercepat irama tusukannya. Kurasakan batang kontol besar itu keluar masuk liang memekku dengan cepatnya. Aku imbangi dengan cepat pula. Kuingin Kang Hendra lebih cepat keluar. Aku ingin membuatnya KO! Kami saling berlomba, berusaha saling mengalahkan. Kuakui permainan Kang Hendra memang luar biasa. Mungkin kalau aku belum sempat orgasme tadi, tentunya aku sudah keluar duluan. Aku tersenyum melihat Kang Hendra nampak berusaha keras untuk bertahan, padahal sudah kurasakan tubuhnya mulai mengejang ngejang. Aku berpikir ia akan segera tumpah.

Pinggulku meliuk liuk liar bak kuda binal. Demikian pula Kang Hendra, pantatnya mengaduk aduk cepat sekali. Semakin bertambah cepat, sudah tidak beraturan seperti tadi. Aku terperangah karena tiba tiba saja terasa aliran kencang berdesir dalam tubuhku. Akh.. nampaknya aku sendiri tidak tahan lagi. Memekku terasa merekah semakin lebar, kedua ujung puting susuku mengeras, mencuat berdiri tegak. Mulut Kang Hendra langsung menangkapnya, menyedotnya kuat kuat. Menjilatinya dengan penuh nafsu. Aku membusungkan dadaku sebisa mungkin dan oohh.. rasanya aku tak kuat lagi bertahan.

Kang Hendra! Cepet keluarin juga..! teriakku sambil menekan pantatnya kuat kuat agar mendesak selangkanganku.

Beberapa detik kemudian aku segera menyemburkan air maniku disusul kemudian oleh semprotan cairan hangat dan kental menyirami seluruh liang memekku. Tubuh Kang Hendra bergetar keras. Ia peluk diriku erat erat. Aku balas memeluknya. Kami lalu bergulingan di ranjang merasakan kenikmatan puncak permainan cinta ini dengan penuh kepuasan. Kami merayakannya bersama sama. Kami sudah tidak memperdulikan tubuh kami yang sudah basah oleh peluh keringat, bantal berjatuhan ke lantai. Sprei berantakan tak karuan, terlepas dari ikatannya. Eranganku, jeritan nikmatku saling bersahutan dengan gerakannya. Kedua kakiku melingkar di seputar pinggangnya. Aku masih merasakan kedutan kedutan batang kontol Kang Hendra dalam memekku.

Nikmat sekali permainan gairah cinta yang penuh dengan gelora nafsu birahi ini. Aku termenung merasakan sisa sisa akhir kenikmatan ini. Pikiranku menerawang jauh. Apakah aku masih bisa merasakan kehangatan ini bersama Kang Hendra. Apakah hanya sampai disini saja mengingat perselingkuhan ini suatu saat akan terungkap juga. Bagaimana akibatnya? Bagaimana perasaan kakakku? Orang tuaku, suamiku dan yang lainnya? Akh! Aku tak mau memikirkannya saat ini. Aku tak ingin kenikmatan ini terganggu oleh hal hal lain. Kuingin merasakan semuanya malam ini bersama Kang Hendra. Lelaki yang telah memberikan pengalaman baru dalam bercinta. Dialah orang yang telah membuat lembaran baru dalam garis kehidupan masa depanku.

Semenjak peristiwa di malam itu, aku dan Kang Hendra selalu mencari kesempatan untuk melakukannya kembali. Ia memang seorang lelaki yang benar benar jantan. Begitu perkasa. Aku harus akui ia memang sangat pandai memuaskan wanita kesepian seperti diriku. Ia selalu hadir dalam dekapanku dengan gaya permainan yang berlainan. Aku tidak pernah bosan melakukannya, selalu ada yang baru. Salah satu diantaranya, yang juga merupakan gaya favoritku, ia berdiri sambil memangku tubuhku. Kedua kakiku melingkar di pinggangnya, tanganku bergelayut di lehernya agar tak terjatuh. Selangkanganku terbuka lebar dan batang kontolnya menusuk dari bawah. Aku bergelayutan seperti dalam ayunan mengimbangi tusukan kontolnya. Kang Hendra melakukan semua itu sambil berjalan mengelilingi kamar dan baru berhenti di depan cermin. Saat ku menoleh kebelakang aku bisa melihat bayangan pantatku bergoyang goyang sementara kontolnya terlihat keluar masuk memekku. Sungguh asyik sekali permainan dalam gaya ini.

Namun perselingkuhanku dengan Kang Hendra berlangsung tak begitu lama. Aku sudah sangat ketakutan semua ini suatu saat terungkap. Makanya aku memutuskan untuk pindah dari kampung agar tidak bertemu lagi dengannya. Terus terang saja, setelah kejadian itu, justru akulah yang sering memintanya untuk datang ke kamarku malam malam. Aku tak pernah bisa menahan diri. Apalagi kalau sudah melihatnya bercanda mesra dengan kakakku. Pernah suatu kali aku penasaran untuk mengintip mereka bercinta di kamarnya. Aku kebingungan sendiri sampai akhirnya lari ke kamar dan melakukannya sendiri hingga aku mencapai kenikmatan karena menunggu Kang Hendra jelas tak mungkin karena istrinya ada di rumah. Keadaan ini jelas tak mungkin berlangsung terus menerus, selain akan terungkap, aku pun rasanya akan menderita harus bertahan seperti ini.

Dengan berat hati akhirnya aku pindah ke kota. Kujual semua hartaku, termasuk rumah tinggal, sawah dan ternak ternak milikku untuk modal nanti di kehidupanku yang baru. Kecuali mobil karena ku anggap akan sangat berguna sebagai alat transportasi untuk menunjang kegiatan ku nanti.