Kejadiannya saat saya sdh berkeluarga serta telah mempunyai 1 anak usia sekitar 2 thn, usiaku kala itu 30 thn. Kami baru pindah ke suatu lingkungan perumahan di kota Z yg masih sangat baru. Belum banyak penunggu yg menempatinya, malahan di gang rumahku baru 2 rumah yg dihuni, ialah rumahku serta rumah Pras. Pras pula telah beristri, namanya Alina, tetapi biasa dipanggil Lina. Mereka belum memiliki anak sekalipun telah menikah lebih dari 2 thn. Rumah Pras cuma berjarak 2 rumah dari rumahku. Sebab tidak terdapat orang sebelah yang lain, kami jadi kilat sekali akrab.
Saya serta Pras jadi semacam teman lama, kebetulan kami seumuran serta hobi kami sama, catur. Lina, yang berusia 26 thn, pula sangat dekat dgn istriku, Winda. Mereka nyaris setiap hari silih curhat tentang apa saja, serta soal seks yang kerap mereka perbincangkan. Biasa mereka berbincang di teras depan rumahku jika sore sembari Winda menyuapi Aria, anak kami. Mereka sama sekali tidak ketahui jika saya kerap“ menguping” rumpian mereka dari kamarku.
Saya banyak ketahui tentang kehidupan seks Lina dan suaminya. Intinya Lina kurang“ happy” soal urusan ranjang ini dgn Pras. Bukannya Pras ada kelainan, tetapi ia senangnya tembak langsung tanpa pemanasan dulu, sangat konservatif tanpa alterasi serta sangat egois. Begitu setelah ejakulasi, ia tidak hirau dengan istrinya lagi.
Sehingga Lina sangat tidak sering mencapai kepuasan dgn Pras. Kebalikannya istriku cerita ke Lina jika ia sangat“ happy” dengan kehidupan seksnya. Serta memanglah, sekalipun saya bukan tercantum“ pejantan tangguh”, tetapi saya nyaris senantiasa dapat memberikan kepuasan kepada istriku. Mereka silih berbagi cerita serta kadangkala sangat mendetail malah. Kerap Lina secara terbuka melaporkan iri pada istriku serta cuma ditanggapi dgn tawa ter- kekeh² oleh Winda.
Wajah Lina lumayan menawan, sekalipun tidak secantik istriku memanglah, tetapi bodinya sangat sempurna, padat berisi. Kulitnya yang putih pula sangat lembut. Serta dalam berpakaian Lina termasuk perempuan yang“ berani” sekalipun masih dalam batas² kesopanan. Kerap saya secara tidak sadar menelan ludah mengagumi badan Lina, diluar ketahui istriku pasti saja. Sayang sekali badan yang demikian menggiurkan tidak sering menemukan siraman kepuasan intim, kerap saya beranggapan kotor begitu. Tetapi seluruhnya masih dapat saya cegah dgn ide sehatku.
Jum’ at petang itu kebetulan saya sendirian di rumah. Winda, dan Aria paginya kembali ke rumah ibu dan bapaknya di kota A. Hal ini karena hari Minggunya adik bungsunya menikah. Rencananya Sabtu pagi saya hendak menyusul ke kota A. Kesepian di rumah sendirian, sehabis mandi saya melangkahkan kaki ke rumah Pras. Maksud hati mau mengajak ia main catur, semacam yang kerap kami lakukan jika tidak terdapat aktivitas.
Rumah Pras sepi² saja. Saya nyaris mengurungkan niatku buat mengetuk pintu, sebab saya pikir mereka lagi berangkat. Tetapi lamat² saya dengar terdapat suara Televisi. Saya ketuk pintu sembari memanggil
“ Pras.. Pras,” Sebagian dikala setelah itu terdengar suara grendel serta pintu terbuka.
Saya pernah termangu sepersekian detik. Di depanku berdiri sesosok wanita menawan tanpa make- up dgn rambut yang masih basah terurai sebahu. Ia mengenakan daster batik mini warna hijau tua dgn belahan dada rendah, tanpa lengan yang memperlihatkan pundak serta lengan yang putih serta sangat lembut.
“ Eh.. Mas Benny. Masuk Mas,” sapaan ramah Lina menyadarkan saya kalau yang membukakan pintu merupakan Lina.
Sangat saya belum sempat memandang Lina secantik ini. Umumnya rambutnya senantiasa diikat dengan ikat rambut, tidak sempat dibiarkan tergerai semacam ini.
“ Nnng… Pras mana Lin?”
“ Wah Mas Pras luar kota Mas.”
“ Tumben Lin ia tugas luar kota. Kapan kembali?”
“ Iya Mas, kebetulan terdapat kegiatan promosi di Y, jadi ia wajib turut, hingga Pekan baru kembali. Mas Benny ada kerperluan apa dengan Mas Pras?”
“ Enggak kok, cuman pengin ngajak catur aja. Lagi kesepian nih, Winda ama Aria ke kota A.”
“ Wah kalo cuman main catur ama Lina aja Mas.”
“ Emang Lina bisa catur?”
“ Eit jangan menghina Mas, meskipun Lina wanita belum pasti kalah lho ama Mas.” kata Lina sembari tersenyum yang menaikkan manis mukanya.
“ Ya bolehlah, saya ingin mencoba Lina,” kataku dgn nada agak bandel.
Lagi² Lina tersenyum menanggapi godaanku. Ia membuka pintu lebih lebar serta mempersilahkan saya duduk di sofa tamu.
“ Sebentar ya Mas, Lina ambil minuman. Mas susun dahulu caturnya.”
Lina melenggang ke ruang tengah. Saya terus menjadi bebas memperhatikannya dari balik. Kain daster yang longgar itu nyatanya tidak sanggup menyembunyikan lekuk badan Lina yang begitu padat. Goyangan kedua puncak pantatnya yg berisi nampak jelas kala Lina melangkah. Mataku terus menempel hingga Lina menghilang di pintu dapur. Buru² saya ambil catur dari rak pajangan serta saya susun di atas meja tamu.
Cocok kala saya berakhir menyusun biji catur, Lina melangkah sembari bawa baki yang berisi 2 cawan teh serta sepiring kacang goreng kegemaran saya serta Pras jika lagi main catur. Kala Lina membungkuk meletakkan baki di meja, ingin tidak ingin belahan dada daster nya terbuka serta menyingkap 2 bukit buah dada yang putih serta sangat padat. Darahku berdesir kencang, nyatanya Lina tidak mengenakan bra! Nyatanya Lina tidak sadar jika telah “mentraktir” saya dgn panorama alam yang menggiurkan itu. Dgn normal di duduk di sofa kursi di seberang meja.
“ Siapa jalan duluan Mas?”
“ Lina kan putih, ya jalur duluan dong,” kataku sembari masih ber- debar².
Sebagian dikala kami mulai asyik menggerakkan buah catur. Nyatanya memanglah benar, Lina lumayan memahami permainan ini. Beberapa kali langkah Lina membuat saya wajib berpikir keras. Lina juga tampaknya kerepotan dengan langkah²ku. Sebagian kali ia nampak memutar otak. Tanpa sadar kadang² ia membungkuk di atas meja yg rendah itu dgn kedua tangannya bertumpu di pinggir meja. Posisi ini pasti saja membuat belahan dasternya terbuka lebar serta kedua payudaranya yang aduhai itu jadi santapan empuk kedua mataku. Konsentrasiku mulai buyar.
Satu 2 kali dalam posisi semacam itu Lina mengerling kepadaku serta memergoki saya lagi menikmati buah dadanya. Entah memanglah ia begitu tenggelam dalam berpikir ataupun memanglah terencana, ia sama sekali tidak berupaya menutup dasternya dgn tangannya, semacam seperti respon seseorang perempuan dalam keadaan ini. Saya terus menjadi berani menjelajahi dekat daerah dadanya dengan sapuan pandanganku. Saya betul² terpesona, sehingga permainan catur ku jadi kacau serta dgn gampang ditaklukkan oleh Lina.
“ Cckk cckk cckk Lina memanglah hebat, saya ngaku kalah deh.”
“ Ah bawah Mas aja yang ngalah serta tidak sungguh- sungguh mainnya. Konsentrasi dong Mas,” jawab Lina sembari tersenyum menggoda.
“ Mari main lagi, Lina belum puas nih.” Terdapat sedikit nada centil di suara Lina.
Kami main lagi, tetapi kali ini saya berupaya lebih konsentrasi. Game berjalan lebih seru, sehingga saat berpikir, tanpa sengaja tanganku menjatuhkan biji catur yg telah “mati” ke lantai. Dengan mata masih memandang papan catur saya berupaya mengambil biji catur tsb dari lantai dgn tangan kananku. Rupa²nya Lina pula melaksanakan hal yang sama, sehingga tanpa sengaja tangan kami silih bersenggolan di lantai.
Entah siapa yang mengawalinya, tetapi kami silih meremas lembut jari tangan di sisi meja sembari masih duduk di sofa masing². Saya memandang ke arah Lina, ia masih dalam posisi duduk membungkuk tetapi matanya terpejam. Jari² tangan kirinya masih terus meremas jari tangan kananku. Saya menjulurkan kepalaku serta mencium dahi Lina dgn sangat mesra.
Ia sedikit terperanjat dengan“ langkah” ku ini, tetapi cuma sepersekian detik saja. Matanya masih memejam serta bibirnya yg padat sedikit terbuka serta melenguh pelan,
“ oooohhh…”
Saya tidak menyia- nyiakan peluang ini. Saya kulum lembut bibir Lina dengan bibirku, ia menyambutnya dgn mengulum balik bibirku sembari tangan kanannya melingkar di balik leherku.
Kami silih berciuman dgn posisi duduk berseberangan dibatasi oleh meja. Kuluman bibir Lina ke bibirku berganti jadi lumatan. Bibirku disedot pelan, serta lidahnya mulai menyeberang ke mulutku. Saya juga menyambutnya dengan lidahku.
Merasa tidak aman dalam posisi ini, dgn sangat terpaksa saya lepaskan ciuman Lina. Saya bangkit berdiri, berjalan mengitari meja serta duduk di sisi kiri Lina. Belum sedetik saya duduk Lina telah memeluk saya serta bibirnya yg nampak jadi lebih sensual kembali melumat kedua bibirku. Lidahnya terus menjelajahi segala isi mulutku selama yg dapat ia jalani. Saya juga tidak ingin kalah bereaksi. Wajib saya akui kalau saya belum sempat berciuman begini “hot”, apalagi dgn istriku sekalipun. Rasanya seumur hidup kami berciuman begini, hingga akhirnya Lina agak mengendorkan “serbuan” nya.
Peluang itu saya pakai buat mengganti arah seranganku. Saya ciumi sisi kiri leher Lina yang putih jenjang memicu itu. Rintih kegelian yg keluar dari mulut Lina serta bau sabun yg harum terus menjadi memompa semangatku. Ciumanku saya geser ke balik kuping Lina, sembari sesekali menggigit lembut kuping telinganya. Lina terus menjadi menggelinjang penuh kegelian bercampur kenikmatan.
“ Aaaahhhh… aaaahhhhh,” rintihan pelan yang keluar dari mulut Lina yang terbuka lebar seolah musik nan merdu di telingaku.
Lengan kananku setelah itu saya rangkulkan ke leher Lina. Tangan kananku mulai menelusup di balik dasternya serta merayap pelan mengarah puncak buah dada Lina yg sebelah kanan. Wow… buah dada Lina, yang sedari tadi saya nikmati dgn sapuan mataku, nyatanya sangat padat. Wujudnya sempurna, ukurannya lumayan besar sebab tanganku tidak sanggup mengangkut sepenuhnya. Jari²ku mulai menari di dekat puting susu Lina yang telah tegak menantang.
Dengan bunda jari serta telunjuk saya pelintir lembut puting yang mungil itu. Lina kembali menggelinjang kegelian, tetapi tanpa respon penolakan sedikitpun. Ia menolehkan mukanya ke kiri, dgn mata yang masih terpejam ia melumat bibirku. Kami kembali berciuman dgn panasnya sembari tanganku terus bergerilya di buah dada kanannya. Respon kenikmatan Lina ia salurkan lewat ciuman yg terus menjadi ganas serta sesekali gigitan lembut di bibirku.
Tangan kiriku saya gerakkan ke paha kiri Lina. Darahku terus menjadi mengalir deras kala saya rasakan kelembutan kulit paha lembut Lina. Lelet tetapi tentu, usapan tanganku saya arahkan terus menjadi keatas mendekati pangkal pahanya. Kala jariku mulai memegang celana dalam Lina di dekat bukit kemaluannya, saya menghentikan gerakanku. Tangan kiriku saya kembali turunkan, saya usap lembut pahanya mulai dari atas lutut. Gerakan ini saya ulang sebagian kali sembari tangan kananku masih memelintir puting kanan Lina serta mulut kami masih silih berpagutan.
Ciuman Lina terus menjadi mengganas tanda- tanda ia mengharapkan lebih dari gerakan tangan kiriku. Saya juga mulai meraba bukit kemaluannya yang masih terbalut celana dalam itu. Entah cuma perasaanku ataupun memanglah demikian, saya rasakan denyut lembut dari perlengkapan kemaluan Lina. Dengan jari tengah tangan kiriku, saya tekan pelan pas di tengah bukit nan empuk itu. Denyutan itu terus menjadi terasa. Saya pula rasakan kehangatan disitu.
“ Aaahh… Mas Ben… aahhh.. iya.. iya,”
Lina melenguh sembari sedikit meronta serta kedua tangannya menyingkap daster mininya dan merendahkan celana dalamnya hingga ke lututnya. Dan mataku dapat memandang bebas kemaluan Lina. Bukitnya menyembul indah, bulu²nya lumayan tebal sekalipun tidak panjang bergerombol cuma di bagian atas. Di antara kedua gundukan daging lembut itu nampak celah kecil yang kentara sekali bercorak merah kecoklatan. Sedetik 2 detik saya pernah terpana dengan panorama alam indah yg terhampar di depan mataku ini.
Setelah itu jari² tangan kiriku mulai membelai semak² yg terasa sangat lembut itu. Betul² lembut bulu² Lina, saya tidak sempat membayangkan terdapat bulu pubis selembut ini, nyaris selembut rambut balita. Lina mereaksi belaianku dengan menciumi leher serta kuping kananku. Kedua tangannya terus menjadi erat memeluk saya. Tangan kananku dari tadi tidak menyudahi me- remas² buah dada Lina yang sangat berisi itu.
Jari²ku mulai mengusap lembut bukit kemaluan Lina yang sangat halus itu. Lama- lama saya sisipkan jari tengah kiriku di celah kecil itu. Saya merasakan sedikit lembab serta agak berdahak. Saya menyusup lebih dalam lagi hingga saya menciptakan klitoris Lina yg sangat mungil dengan ujung jariku. Dgn gerakan memutar lembut saya usap barang kecil yang nikmat itu.
“ Ahhhh… iya… Mas.. Ben… ahhhh.. ahhhh.”
Jari tengahku saya tekan sedikit lebih kokoh ke klitoris Lina, sembari saya gosokkan naik turun. Lina meresponsnya dengan membuka lebar kedua pahanya, tetapi gerakannya terhalang celana dalam yg masih bertengger di kedua lututnya. Sejenak saya hentikan gosokan jariku, saya pakai tangan kiriku buat merendahkan barang yang membatasi gerakan Lina itu. Lina menolong dgn mengangkat kaki kirinya sehingga celana dalamnya terlepas dari kaki kirinya. Saat ini barang itu cuma menggantung di lutut kanan Lina serta gerakan Lina telah tidak terhalang lagi.
Dgn bebas Lina membuka lebar kedua pahanya. Dari sudut pandang yang sangat kecil saya masih dapat mengintip bibir kemaluan Lina yang begitu tebal memicu, nyaris sama tebal serta sensualnya dgn bibir atas Lina yang masih menciumi leherku. Jariku saat ini bebas menjelajahi segala kemaluan Lina yang telah sangat licin berdahak itu.
Saya gosok² klitoris Lina dgn lebih kokoh sembari sesekali mengusap ujung liang kenikmatannya serta saya gesek keatas kearah klitorisnya. Saya ketahui ini bagian yang sangat sensitif dari badan perempuan, tidak terkecuali perempuan molek yg di sampingku ini. Lina menggelinjang terus menjadi hebat.
“ Aaaaaahhhhh…. Mas.. Mas….. ahhhhh.. terus… ahhhhh,” pintanya sambil merintih.
Keseriusan sodokanku terus menjadi saya tingkatkan. Saya mulai mengeduk bagian luar lubang senggama Lina.
“ Iya… ahhh… iya.. Mas.. Mas.. Mas Ben.”
Lina telah lupa apa yang harus ia jalani. Ia cuma tergolek bersandar di kursi yang empuk itu. Kepalanya terdongak kebelakang, matanya tertutup rapat. Mulutnya terbuka lebar sembari tidak henti menghasilkan erangan penuh kenikmatan. Tangannya terkulai lemas di samping badannya tidak lagi memelukku. Tangan kananku juga telah menyudahi kegiatannya karena merangkul erat Lina supaya ia tidak melorot ke dasar. Daster Lina telah terbuka hingga ke perutnya, menyingkap kulit yang sangat putih lembut tidak bercacat. Celana dalam Lina masih menggantung di lutut kanannya. Pahanya mengangkang optimal.
Jariku masih menari- nari di segala bagian luar kemaluan Lina, yang terus menjadi saya pandang terus menjadi indah itu. Saya berencana belum menyentuh bagian dalam lubang surganya. Kepala Lina saat ini meng- geleng² kiri kanan dgn liarnya. Rambut basahnya yang telah mulai kering tergerai acak²an, malah menaikkan keayuan wajah Lina.
“ Mas… Mas…. ahhhhh…. nikmat…. ahhhh tidak tahaaan.. ahhhh.”
Saya ketahui Lina telah nyaris menggapai puncak kenikmatan birahinya. Dengan lembut saya mulai tusukkan jari tengahku ke dalam lubang vaginanya yg telah sangat basah itu. Saya sorongkan hingga segala jariku terhisap lubang Lina yang lumayan kecil itu. Saya tarik lama- lama sembari sedikit saya bengkokkan ke atas sehingga ujung jariku menggesek lembut bilik atas Miss V Lina.
Gerakan ini saya jalani kesekian kali, masuk lurus keluar bengkok, masuk lurus keluar bengkok, begitu seterusnya. Tidak hingga 10 kali gerakan ini, Tiba² Badan Lina jadi kaku, kedua tangannya mencengkeram erat pinggiran kursi. Kepalanya terus menjadi mendongak ke belakang. Mulutnya terbuka lebar. Gerakanku saya percepat serta saya tekan lebih dalam lagi.
“ Aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh.”
Lina melenguh dalam satu tarikan nafas yang panjang. Badannya sedikit menggigil. Saya dapat merasakan jari tanganku kian terjepit kontraksi otot Miss V Lina, serta bersamaan dengan itu saya rasakan kehangatan cairan yg menyiram jariku. Lina sudah mencapai orgasmenya. Saya tidak menghentikan gerakan jariku, cuma sedikit kurangi kecepatannya.
Badan Lina masih menggigil serta mengencang. Mulutnya terbuka tetapi tidak terdapat suara yg keluar sepatah pun, cuma hembusan nafas kokoh serta pendek² yg dikeluarkan melalui mulutnya. Keadaan demikian berlangsung sepanjang sebagian dikala. Setelah itu badan Lina berangsur merenggang, saya juga memperlambat gerakan jariku hingga akhirnya dgn sangat lama- lama saya cabut dari liang kenikmatan Lina.
Mata Lina masih terpejam rapat, bibirnya masih sedikit ternganga. Dgn lembut serta pelan saya dekatkan bibirku ke mulut Lina. Saya cium mesra bibirnya yang sangat sensual itu. Lina juga menyongsong dan tidak kalah mesranya. Kami berciuman bak sejoli pacar yg silih jatuh cinta.
Agak berbeda dgn ciuman yg menggelora semacam tadinya.
“ Nikmat Lin?” Dgn lembut saya berbisik di kuping Lina.
“ Mas Ben… ah… Lina blm sempat merasakan kenikmatan semacam tadi.. sangat Mas. Mas Ben sangat pintar… Makasih Mas… Winda sangat beruntung memiliki suami Mas.”
“ Saya yg beruntung Lin, dapat berikan kepuasan kepada perempuan secantik serta semulus kalian.”
“ Ah Mas Ben bisa aja… Lina jadi malu.”